Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Sepuluh hari setelah hari suci Galungan, simbolisme kemenangan dharma atas adharma terus berlanjut melalui ritual Kuningan. Lontar Sundarigama menyuratkan : “Saniscara Kliwon Kuningan tumurun wateki dewata kabeh mwang sang Dewa Pitara, asuci laksana, pakenanya ngening-ngening akna citta nirmala tan pegating samadhi….” (Sabtu Kliwon Kuningan, saat itu turun dengan anugrah-Nya para Dewata dan Roh-Roh suci leluhur, sucikan perbuatan, selalu memurnikan diri, menyucikan pikiran tiada henti memusatkan pikiran pada Tuhan (samadhi)”.

Dalam keyakinan pantheistik, usai menerima persembahan yadnya, Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya dan Ida Bhatara-Bhatari digambarkan kembali ke kahyangan (Dewa mur mwah maring Swarga), meninggalkan, tepatnya membiarkan umat pemuja-Nya berjuang meneruskan putaran roda kehidupannya.
Persis seperti pandangan Deisme, setelah menciptakan alam beserta segala isinya, Tuhan kemudian meninggalkan dunia. Tidak lagi ikut campur tangan terhadap kehidupan manusia di muka bumi. Semuanya berjalan sebagaimana hukum Rta (kodrat alam) telah mengaturnya. Serupa dengan teori “predestinasi” John Calvin, bahwa apa pun yang terjadi sejatinya telah ditentukan sebelumnya dan merupakan kehendak Tuhan, dimana manusia tidak bisa mengelak apalagi menolak kuasa-Nya.

Baca juga:  Saat Umanis Kuningan, ODGJ Ngamuk Ambil Udeng Pemangku

Menjadi tugas dan tanggungjawab manusia sebagai makhluk “sempurna” ciptaan Tuhan untuk kemudian melanjutkan perjuangan hidupnya berbekalkan dharma – dharma raksatah rakksitah – siapa yang berlindung dibalik dharma, maka dharma itu sendiri yang akan melindunginya.

Dalam konteks ritual Kuningan inilah umat Hindu “kauningin” — diberitahu sekaligus diingatkan, bagaimana setelah “kepergian” Tuhan kembali ke Kahyangan, tetap eksis berkehidupan dengan segala tangungjawab dan risikonya, tanpa “tergantung” pada “kebaikan” Tuhan dengan bermacam berkah dan anugrah yang selalu dinantikan. Apalagi banyak berharap dari doa pujian atau mantra pujaan pengantar ritual persembahan dengan sejuta permohonan.

Betapapun khusuknya doa-puja-mantra tetap masih sebatas lantunan untaian syair sloka, yang perlu ditransformasi ke dalam bentuk tindakan. Istilahnya doa tanpa perbuatan itu omong kosong, perbuatan tanpa disertai doa tergolong sombong, apalagi tanpa ucap doa serta nihil perbuatan sama saja bohong.

Baca juga:  Kewajiban Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi

Menuju kesadaran bertanggungjawab atas kehidupan itulah, rerainan suci Kuningan mengalunkan dentingan suara “Nang, Ning, Nung, Nĕng, Nong”. Untaian kata bernada puitis penuntun umat untuk pertama-tama mengondisikan diri dalam keadaan ‘Tenang’, lalu ‘Hening” untuk kemudian melakukan ‘Renung’ (perenungan), lanjut meresapi getar suara hati seraya ‘Hĕnĕng’ (mĕnĕng : berkontemplasi), sebagai ikhtiar bhakti menuju “Henong”, capaian kesadaran bahwa apa yang berawal dan berasal dari kosong akan kembali lagi pada yang kosong.

Setali tiga uang dengan ngaturang sembah, selalu diawali dan diakhiri dengan muspa puyung. Sebuah kesadaran akan hakikat sang diri yang berkeadaan “hana tan hana”, dari tidak ada lalu “meng-ada”, hingga akhirnya “meniada” — tiada.

Permasalahannya, hidup dan kehidupan adalah sebuah keberadaan, nyata adanya. Untuk bisa tetap eksis diperlukan perjuangan. Melalui ritual bhakti Kuningan telah diisyaratkan secara simbolik, pentingnya umat menyiapkan diri dengan menginternalisasi makna filosofis beberapa piranti ritual penyerta yang sejatinya sebagai representasi suara melodi “Nang-Ning-Nung-Nĕng-Nong”.

Mulai dari Tamiang (tameng), maknanya agar umat senantiasa bersikap tenang (Nang) dalam menghadapi dan melindungi diri dari berbagai persoalan. Lalu Ter (semacam anak panah) menuntun umat pada keheningan (Ning) pikiran sehingga tidak mudah terpengaruh oleh kekeruhan/kekotoran yang dipicu keinginan negatif, kemudian Endongan (berbentuk tas) sebagai wadah perbekalan, tidak hanya bekal material dan intelektual tetapi lebih penting lagi modal spiritual, yang hanya bisa di dapat melalui laku kontemplasi atau perenungan (Nung).

Baca juga:  Antarkan Roh Leluhur ke Surga dengan "Mesuryak"

Ada lagi piranti Sampian Gantung (penolak bala), simbol kemampuan mengatasi segala halangan atau gangguan, menjadikan umat semakin berkemantapan hati (Nĕng) — mĕnĕng/dĕgĕng, hingga ke puncak capaian tingkatan “sunyata“ — kembali kosong (Nong), mengosongkan diri dari segala hasrat duniawi dengan pikiran terpusat hingga sampai pada-Nya. Sebagaimana dijanjikan Bhagawadgita, IX. 34 : ‘Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbhaktilah pada-Ku; puja dan tunduklah pada-Ku, dan dengan mendisiplinkan dirimu serta menjadikan-Ku sebagai tujuan, engkau akan sampai kepada-Ku’, demikian Sri Krishna memberikan wejangan kepada Arjuna.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *