Oleh Wayan Citra Wulan Sucipta Putri
Pascadicabutnya kebijakan PPKM, masyarakat tidak boleh terlena dan harus tetap waspada terhadap risiko infeksi Covid-19 dengan tetap mempertahankan perilaku hidup sehat yang optimal, mandiri dan berkelanjutan. Saat ini upaya-upaya tersebut mungkin masih bersifat berjalan sendiri-sendiri baik di keluarga, layanan kesehatan maupun masyarakat. Upaya untuk mengkoordinasikan, mengintegrasikan dan mendukung hal tersebut perlu dilakukan secara sistematik, terarah dan terukur.
Kebijakan PPKM telah dicabut per 30 Desember 2022 oleh Presiden Joko Widodo. Hal ini berdasarkan situasi beberapa bulan terakhir di Indonesia yang menunjukkan sejumlah parameter pandemi Covid-19 dalam situasi yang terkendali, dimana pada 27 Desember 2022 kasus Covid-19 harian mencapai 1,7 kasus per 1.000.000 penduduk, positivity rate mingguan mencapai 3,35%, tingkat perawatan rumah sakit berada di angka 4,79%, dan angka kematian di angka 2,39%. Pencabutan kebijakan PPKM tersebut juga berdasarkan tingginya cakupan imunitas penduduk dimana dari hasil Sero Survey pada bulan Desember 2021 yang berada di 87,8% dan di bulan Juli 2022 berada di angka 98,5%. Maknanya adalah bahwa kekebalan secara komunitas ada di angka yang tinggi. Meski begitu -pada saat tulisan ini disusun- Indonesia masih mempertahankan Status Kedaruratan Kesehatan (Kepres 11/12 2020) mengikuti status PHEIC (Public Health Emergency of International Concern) dari Badan Kesehatan Dunia WHO, menyiratkan pandemik belum berakhir sepenuhnya.
Salah satu pesan yang ditekankan saat pencabutan kebijakan PPKM tersebut adalah agar seluruh individu di masyarakat tetap sadar dan waspada dalam menghadapi risiko Covid-19. Penggunaan masker di pusat keramaian dan ruang tertutup untuk tetap dilanjutkan. Salah satu upaya agar masing-masing individu di masyarakat menjadi mandiri, optimal dan berkelanjutan dalam berperilaku sehat adalah dengan meningkatkan manajemen perilaku sehat di keluarga melalui penguatan kolaborasi keluarga, kader dan tenaga kesehatan di layanan primer. Keluarga adalah institusi sosial terkecil di masyarakat dengan peran sangat besar dalam terbentuknya sumberdaya manusia yang berkualitas. Keluarga adalah institusi pertama dan utama dalam mendidik, melindungi serta memelihara anak-anaknya, sesuai dengan nilai-nilai keluarga, norma masyarakat dan agama yang dianut sehingga dihasilkan generasi tangguh.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa salah satu faktor dari seorang untuk dapat memiliki ketahanan (resiliensi) pada masa pandemik adalah adanya dukungan sosial yang baik dari keluarga, selain tentunya dari masyarakat. Keluarga juga terbukti dapat beradaptasi dan bertahan terhadap perubahan, trauma dan tragedi akibat pandemik Covid-19 sehingga dapat mempertahankan situasi saling mendukung di dalam keluarga tersebut sehingga mendukung resiliensi dari individu-individu di masyarakat. Studi menunjukkan individu yang memiliki resiliensi dikatakan berperan dalam mendukung kepatuhan terhadap perilaku hidup sehat, dan apabila hal ini dapat dilakukan terus-menerus di keluarga, maka kemandirian dan keberlanjutan dari perilaku sehat itu dapat dipastikan bisa dicapai.
Melihat pentingnya peran keluarga dalam upaya menjaga optimalnya perilaku hidup sehat di masyarakat, maka penting untuk memberikan edukasi dan kapasitas kepada keluarga terkait perilaku sehat dalam bentuk upaya pemberdayaan keluarga. Sejumlah penelitian di Indonesia menunjukkan efektivitas dari upaya pemberdayaan keluarga dalam mencegah penyakit/perilaku yang menjadi beban di masyarakat seperti manajemen diabetes melitus tipe 2, pencegahan merokok pada siswa sekolah, pencegahan stunting maupun pencegahan stroke. Efektifnya upaya pemberdayaan keluarga dalam mencegah penyakit sebaiknya perlu didukung dengan sistem untuk memastikan upaya tersebut berkelanjutan dan feasible. Salah satunya adalah dengan mengintegrasikan dengan sistem yang ada saat ini dalam bentuk penguatan kolaborasi antara system yang sudah ada dengan keluarga.
Selain kader yang perlu dilatih lebih banyak dan lebih berkualitas, puskesmas sebagai lembaga kesehatan yang merupakan kontak pertama (primer) masyarakat terkait masalah kesehatan juga perlu dikuatkan. Bila perlu tidak hanya puskesmas, layanan primer lainnya melalui program Prolanis juga perlu diperkuat. Peran tenaga kesehatan di layanan primer perlu ditingkatkan untuk mendukung upaya kolaborasi yang lebih proaktif, partisipatif dan inovatif serta mendukung continuum of care.
Memang saat ini tenaga kesehatan sebagai sumber daya manusia essensial di masa pandemik Covid-19 sudah mengalami kelebihan beban kerja. Tentu apabila ditambah dengan beban pemberdayaan keluarga akan lebih banyak meningkatkan beban kerja dari tenaga kesehatan.
Di sisi lain, dari sisi tenaga kesehatan, saat ini terdapat sejumlah tenaga kesehatan dengan kompetensi spesifik di bidang keluarga dan pelayanan primer yang dapat berperan tidak hanya sebagai sebagai tenaga ahli namun juga dapat membantu mengarahkan penguatan kolaborasi antara tenaga kesehatan, kader dan keluarga tersebut karena memahami bagaimana prinsip upaya pencegahan penyakit dengan menggunakan berbagai prinsip kedokteran keluarga.
Dengan adanya penguatan kolaborasi antara tenaga kesehatan dengan kompetensi yang baik terkait kesehatan keluarga dan layanan primer, kader yang merupakan masyarakat yang dilatih serta keluarga; maka akan mendukung perilaku hidup sehat yang mandiri dan berkelanjutan. Tentunya upaya kolaborasi tersebut sebaiknya didukung dengan sumber daya yang cukup serta dilakukan dengan pendekatan yang inovatif, partisipatif dan mengikuti perkembangan zaman.
Penulis, Dosen dan Peneliti di Divisi Kedokteran Komunitas dan Kedokteran Pencegahan, Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana