Kapolsek Denut Iptu Putu Carlos Dolesgit menghadiri rapat dan sosialisasi mencegah kasus bunuh diri. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Menyikapi kasus bunuh diri terus terjadi, Forkopincam Denpasar Utara (Denut) menggelar rapat koordinasi (rakor) dan sosialisasi untuk mencegah kasus tersebut. Kejadian untuk mengakhiri hidup baik dengan ide, perencanaan, percobaan hingga perilaku bunuh diri terjadi karena ada faktor risiko, gangguan mental, penggunaan obat-obatan terlarang, trauma masa kecil, tingkat ekonomi yang rendah, dan penyakit kronis.

Kegiatan ini diinisiasi Kapolsek Denut Iptu Putu Carlos Dolesgit dan dilaksanakan Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Bertempat di Ruang Rapat Kantor Camat Denut, Jalan Mulawarman, Iptu Carlos menyampaikan kegiatan ini penting dilakukan karena kasus bunuh diri masih terjadi di Kecamatan Denut.

Menurutnya, fenomena bunuh diri ini seperti gunung es. Dalam dua bulan terakhir ini ada tiga kejadiaan di wilayah Denut. “Memang gantung diri bukan tindak pidana, tetapi bisa menunjukkan ada gangguan keamanan wilayah Denpasar Utara,” ujarnya.

Oleh karena itu perlu dilaksanakan sosialisasikan dan mengundang narasumber yang bisa menjelaskan faktor-faktor penyebab serta pencegahan gantung diri tersebut. Di samping itu menjadi peka terhadap masalah yang terjadi di desa/kelurahan.

Baca juga:  "Overstay" Dua Tahun, Wanita Jepang Dipulangkan

Sementara itu, Camat Denut, I Wayan Yusswara dalam rakor itu menyampaikan dengan dilaksanakannya kegiatan ini tidak ada lagi kasus bunuh diri. Oleh karena itu, hasil rapat ini harus disosialisasikan ke warga.

Dalam pertemuan itu juga hadir Dr. I Gusti Rai Wiguna, SPKJ. Rai Wiguna menjelaskan bunuh diri merupakan masalah yang kompleks karena tidak diakibatkan oleh penyebab tunggal namun merupakan faktor biologis, genetik, psikologi, budaya dan lingkungan. Kesehatan mental menjadi hal penting untuk menjadi perhatian, terutama kejadian bunuh diri dimana data kasusnya di Indonesia belum tercatat dengan baik.

Sedangkan kejadian di masyarakat seperti ide bunuh diri, perencanaan bunuh diri, percobaan bunuh diri sampai perilaku bunuh diri cukup banyak dilaporkan. “Alasan lain mengapa persoalan ini dibahas karena gangguan kejiwaan hendaknya tidak disikapi dengan pandangan negatif,” ujarnya.

Baca juga:  Gubernur Koster Siapkan Lahan Relokasi Warga Terdampak Banjir di Jembrana

Menurutnya, ada beberapa mitos mengenai orang-orang mengalami gangguan kejiwaan yakni tidak dapat berfungsi dalam masyarakat, berbahaya, serta gangguan kejiwaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak beres pada diri orang tersebut. Banyak gangguan kesehatan mental yang terjadi bukan karena pengalaman buruk atau kesalahan dari individunya tapi ada unsur genetik.

Oleh karena itu jika seseorang mengalami gangguan psikologis, cara pendekatan yang tepat adalah dengan menolongnya dengan penuh kasih. “Bunuh diri dapat dicegah apabila semua anggota keluarga dan masyarakat dapat melakukan tindakan yang akan menyelamatkan kehidupan. Bersama-sama peduli dan memahami upaya dalam pencegahan bunuh diri. Dengan meningkatkan kesadaran, mengurangi stigma seputar bunuh diri, dan menggiatkan kegiatan informasi mengenai pencegahan bunuh diri, kita dapat mengurangi kasus bunuh diri di terjadi,” kata Rai Wiguna.

Baca juga:  Mayat Orok Ditemukan Mengambang

Dominan kasus bunuh diri terjadi sangat impulsif di saat-saat krisis, di mana dirinya sudah tidak sanggup lagi menghadapi persoalan di dalam hidup. Ada beberapa kondisi yang memungkinkan risiko seseorang ingin bunuh diri, diantaranya orang dengan gangguan mental, tekanan hidup (baik ekonomi, sosial, dan yang lainnya) dan mengalami konflik.

Sedangkan kejadian untuk mengakhiri hidup baik dengan ide bunuh diri, perencanaan bunuh diri,percobaan bunuh diri hingga perilaku bunuh diri terjadi karena ada faktor resiko, yaitu gangguan mental, depression, bipolar disorder, autism spectrum disorder, schizophrenia, personality disorders, anxiety disorders, penggunaan obat-obatan terlarang, pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu/trauma masa kecil, tingkat ekonomi yang rendah, keluarga memiliki riwayat bunuh diri, perasaan terasingkan atau terpisahkan, penyakit kronis, akses mudah terhadap alat-alat yang dapat digunakan untuk mengakhiri hidup dan ketidakmampuan mencari bantuan dikarenakan stigma. (Kerta Negara/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *