Seorang tatung saat unjuk kebolehan di depan podium tamu VVIP pada acara puncak Festival Cap Go Meh Singkawang, Minggu (5/2/2023). (BP/Ant)

SINGKAWANG, BALIPOST.com – Cap Go Meh dirayakan warga etnis Tionghoa di sejumlah wilayah Indonesia. Pesta ini disambut meriah dengan berbagai kegiatan dan melibatkan banyak orang. Masyarakat bukan dari etnis Tionghoa pun antusias menyaksikan perayaan ini.

Kemeriahan hiasan lampion, serta permainan naga dan barongsai merupakan ciri khas dari Festival Cap Go Meh. Namun, ada satu yang membuat perayaan berbeda dan semakin menarik, bahkan unik, ketika perayaan Cap Go Meh di Singkawang, yakni sejumlah tatung atau dukun (lauya) yang kerasukan roh leluhur muncul dalam perayaan itu.

Apalagi pada Tahun Baru Imlek 2023 atau 2574 Kongzili kali ini, dirayakan sangat meriah, karena Pemerintah telah mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di seluruh wilayah Indonesia sejak 30 Desember 2022.

Sejumlah daerah di Indonesia yang banyak terdapat warga etnis Tionghoa, merayakan Cap Go Meh dengan penuh suka cita dan besar-besaran, salah satu di antaranya adalah di Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar).

Tokoh masyarakat Tionghoa Kalbar, XF Asali, dalam bukunya yang berjudul Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, menjelaskan Cap Go Meh berasal dari kata dialek Hokkien/Tio Ciu. Kata “Cap go” berarti lima belas dan kata “Meh” berarti malam. Sehingga Cap Go Meh artinya malam ke lima belas.

Di Tiongkok, negeri leluhur etnis Tionghoa Indonesia, menyebutnya sebagai perayaan Yuan Shiau Ciek yakni festival malam bulan satu.

Saat masa Dinasti Tung Han, Kaisar Liu Chang (Han Min Tie) merayakan festival ini untuk menghormati Sang Budha Sakyamuni yang menampakkan diri pada tanggal 30, bulan 12 Imlek di daratan barat. Kemudian ditafsirkan sama dengan tanggal 15 bulan 1 Imlek di daratan Timur.

Baca juga:  ISI Denpasar Gelar Wisuda ke-26, Hadirkan "Bali Sangga Dwipantara"

Kaisar memerintahkan rakyatnya agar sembahyang syukuran, arak-arakan, memasang lampion, atraksi kesenian rakyat seramai mungkin pada malam hari tersebut. Kegiatan itu berlanjut secara turun-temurun sampai sekarang. Kegiatan ini masih diperingati etnis Tionghoa di Indonesia yang menganut Sam Kaw atau Tri Dharma sebagai hari raya religius umat Taoisme, Budha, dan Kong Hu Cu. Sedangkan untuk etnis Tionghoa lainnya, dirayakan sebagai hari raya tradisi budaya Yuan Shiau Ciek atau Cap Go Meh.

Festival Cap Go Meh di Indonesia diadakan sebagai penutup perayaan tahun baru. Di banyak daerah, perayaan ini diisi atraksi permainan naga dan barongsai. Juga ada karnaval kendaraan berhias lampion atau bentuk event lainnya sesuai kekhasan di daerah setempat.

Mengenai adanya tatung atau lauya yang kerasukan roh leluhur, muncul dalam versi lain cerita rakyat, yakni saat Dinasti Tung Zhou sekitar tahun 770 SM-256 SM.

Ketika itu, para petani memasang lampion di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang perusak tanaman. Kemudian ditambahi dengan segala bunyi-bunyian, bermain barongsai, dan arak-arakan tatung sebagai tolak bala serta supaya lebih ramai.

Kepercayaan dan tradisi budaya itu, berlanjut dan berkembang terus baik di daratan Tiongkok maupun di perantauan di seluruh dunia, sesuai kondisi dan situasi di negara masing-masing, hingga ke Indonesia.

Tatung di Singkawang

Kota Singkawang dimana masih banyak warga etnis Tionghoa yang kental dengan tradisi leluhur, menyambut Festival Cap Go Meh dengan penampilan para tatung.

Tatung melakukan ritual “cuci jalan” pada hari ke-14 Imlek. Cuci jalan artinya membersihkan jalan dari roh-roh jahat agar kota itu aman selama setahun ke depan. Ritual cuci jalan dimulai dengan persiapan di kelenteng saat pagi setelah matahari terbit sekitar pukul 05.30 WIB.

Baca juga:  Bungbang, Terinsipirasi dari Suara Gelembung Air

Persiapan di kelenteng atau pekong selesai ditandai dengan seorang dukun yang semula sadar, kemudian sudah kerasukan roh leluhur, tandu pembawa siap dengan pemikulnya, maka arak-arakan tatung dapat dilakukan.

Arak-arakan tatung keliling kota membersihkan jalan berlangsung hingga tengah hari. Kemudian berlanjut pada malam hari menjelang hari ke lima belas Imlek.

Ada tatung yang cukup berjalan kaki saat melakukan cuci jalan. Tetapi ada tatung yang mesti dibawa dengan tandu yang dipikul 8 hingga 16 orang. Tatung ini keliling kota sambil membaca doa pengusir roh jahat. Dia singgah di beberapa pekong atau kelenteng untuk memberikan penghormatan. Mereka menunjukkan kemampuan tahan terhadap benda tajam dan runcing.

Tradisi inilah yang masih dapat dijumpai saat Cap Go Meh di Singkawang. Kemampuan menjadi tatung, bisa diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun hanya orang-orang tertentu yang bisa kerasukan roh leluhur tersebut.

Ada beratus tatung ikut dalam setiap perayaan penutup tahun baru. Untuk Imlek 2023 atau 2574 Kongzili ini, panitia menerima pendaftaran 680 tatung. Ratusan tatung itu ikut dalam rangkaian Festival Cap Go Meh sejak hari Sabtu (4/2) untuk ritual “cuci jalan” hingga pawai yang digelar pada hari Minggu (5/2).

Wakil Ketua Panitia Imlek dan Cap Go Meh Singkawang 2023, Tjhai Chui Mie, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Minggu (5/2), menyatakan tatung yang mendaftar itu baik pejalan kaki maupun yang menggunakan tandu. Mereka datang dari pekong yang ada di Singkawang, namun juga ada tatung dari luar kota.

Saat tatung melakukan ritual cuci jalan, ribuan orang memenuhi jalan-jalan dalam kota Singkawang hingga ke kelenteng di tengah kota, Tri Dharma Bumi Raya, untuk menyaksikan keunikan itu. Keramaian makin menjadi-jadi ketika puncak festival digelar pada hari ke lima belas Imlek.

Baca juga:  Pembangunan Koperasi dan UKM Telah Ikuti Revolusi Industri 4.0

Sejumlah jalan dalam kota Singkawang pun ditutup aparat keamanan agar tak terjadi kemacetan. Orang yang hendak menonton atraksi tatung, harus rela berjalan kaki berkilo meter dari tempat memarkir kendaraannya.

Seorang warga dari perbatasan Indonesia-Malaysia di Jagoi Babang, Bengkayang, Selin, menyatakan setiap tahun selalu datang ke Singkawang untuk menyaksikan Cap Go Meh. “Unik dan saya rasa tidak ada di tempat lain,” kata perempuan itu.

Ada berbagai model penampilan tatung yang menunjukkan kebolehannya. Seperti wajah yang ditusuk dengan kawat atau besi halus, duduk di atas pisau panjang yang diletakkan di atas tandu, dan menginjakkan kaki di ujung parang, serta bermacam-macam lagi penampilannya. Semuanya itu menimbulkan rasa ngeri bagi yang tak kuat menyaksikan, menutup dua matanya dengan telapak tangan.

Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, saat puncak Festival Cap Go Meh di Jalan Diponegoro Singkawang, Minggu (5/2), mengatakan menyaksikan tatung itu hal yang unik dan berbeda dari tempat lainnya di Indonesia. “Sedikit menyeramkan tetapi tidak menimbulkan takut,” katanya.

Karena keunikan itu pulalah membuat ribuan orang datang ke Singkawang, tak terkecuali Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.

Kedua pejabat negara ini menerima undangan panitia penyelenggara untuk datang langsung menyaksikan Festival Cap Go Meh selama dua hari. Keduanya juga menyampaikan pesan yang sama, agar tradisi dan budaya yang unik di Singkawang ini dapat dilestarikan. (Kmb/Balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *