Oleh I Gusti Ketut Widana
Sebagai negara berkembang, tak dapat dimungkiri, bangsa Indonesia masih berkiblat kuat pada negara-negara maju yang pastinya jauh lebih modern. Tidak hanya soal iptek, lebih mewabah lagi terkait kultur, termasuk mengadopsi lalu mengadaptasi trend gaya hidup masyarakat Barat. Semisal ikut merayakan Valentine’s Day 14 Februari.
Dari sisi ideologi, Valentine’s Day atau lebih populer disebut Hari Kasih Sayang bukan berakar pada kearifan lokal nusantara, apalagi merujuk ajaran Hindu. Dilansir situs History, Hari Valentine berasal dari kisah pendeta di Roma pada abad ketiga bernama Santo (St.) Valentine.
Pada masa itu, Kaisar Claudius II melarang pernikahan pria muda. Alasannya, pria lajang lebih baik dijadikan prajurit dari pada menikah dan memiliki keluarga. Namun, Pendeta St. Valentine menentang keputusan Kaisar Claudius II karena dianggap tidak adil. Lalu, Valentine secara rahasia menyelenggarakan prosesi pernikahan pasangan muda hingga akhirnya Valentine dihukum mati pada 14 Februari 270 masehi. Hari kematian St. Valentine pada tanggal 14 Februari dijadikan sebagai awal mula perayaan Hari Valentine (HV) setiap tahun.
Menjalar kemudian ke berbagai negara, menjadi perayaan umat manusia secara global dan berkembang dengan label sebagai Hari Kasih Sayang (HKS). Oleh karena mengandung nilai universal, perayaan HKS begitu cepat diterima dan kini seolah menjadi bagian euforia masyarakat dunia, termasuk kalangan muda Hindu. Namun ketika gairah perayaannya berkecenderungan ke arah sublimasi rasa kasih sayang dalam konteks pembangkitan libido (hasrat) dengan segala ekspresi kama-kamomoan (nafsu duniawi), maka dipandang perlu diluruskan. Kalau semisal sekadar dirayakan dengan berbagi ucapan selamat HV/HKS berwarna pink, kado bersimbolkan cinta (love) disertai pemberian coklat dan sejenis itu, tentu masih dalam batas normal/standar.
Persoalannya, dari berbagai media online terungkap, ketika menjelang dan puncak perayaan HV/HKS, muncul judul berita “ngeres bin miris” seperti ini : “Valentine Day, Penjualan Coklat dan Kondom Meningkat”, “Waduh! Penjualan Kondom Meningkat Menjelang Valentine Day”, atau Kondom Laris Manis Saat Perayaan Valentine”. Fenomena apakah ini? Setidaknya sebagai isyarat bahkan alarm, bahwa di kalangan sebagian masyarakat telah terjadi kecenderungan penyimpangan terhadap perayaan HV/HKS. Jika sebagian masyarakat lainnya turut pula bersikap permisif, bisa saja HV/HKS semakin massif berkembang menjadi semacam perayaan freelove mengarah freesex.
Hindu sendiri memandang sekaligus menempatkan “kasih sayang” dalam frame “bhakti” (cinta) dalam arti hakiki. Mulai dari cinta kepada Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya, yang dengan Maha Kasih telah mencipta dan memelihara seisi semesta alam. Lalu cinta kasih kepada para Pitara (Ida Bhatara-Bhatari) yang menjadi pintu kelahiran generasi ke generasi penerus. Lebih bagus lagi diwujudkan ke dalam praktik “pitra yadnya sakala” dengan melayani orang tua masing-masing. Akan semakin kongkrit, cinta atau kasih sayang terhadap sesama insani dapat diimplementasikan melalui bentuk aksi pelayanan. Tentang ini, Swami Vivekananda berujar: “Pandanglah setiap pria, wanita dan anak-anak sebagai Tuhan. Saudara tidak akan mampu menolong siapapun, saudara hanya dapat melayani mereka. Layanilah anak-anak Tuhan itu, layani Tuhan itu sendiri, jikalau saudara mempunyai kehormatan untuk berbuat demikian. Lakukanlah itu sebagai suatu pemujaan”.
HV/HKS memang tak dapat dimungkiri sudah menjadi bagian kultur masyarakat kekinian, termasuk kalangan umat Hindu. Sepanjang masih berada dalam koridor kesusilaan dengan mentransformasi nilai-nilai universal rasa cinta kasih sayangnya dalam batas etika, moral dan menjadi pemicu ke arah spiritual, tentu tidak masalah. Hanya saja, akan lebih bijak lagi jika ritual Hindu bernuansa HV/HKS seperti halnya rerainan Tumpek Krulut dapat dijadikan sebagai momentum mengekspresikan rasa cinta atau kasih sayang, baik secara vertikal (niskala) maupun horizontal (sekala) dengan tujuan penguatan Jana Kertih sebagai umat Hindu berkarakter religious/spiritual.
Ritual Tumpek Krulut sejatinya adalah HV/HKS sebagai bagian keyakinan (Sraddha) umat Hindu yang dapat dijadikan momentum “ngalulutang asih” (cinta kasih-sayang), tidak saja secara teoritis dan etis, lebih penting lagi terbuktikan dalam tataran praktis, setiap gerak perilaku mencerminkan ketulusikhlasan dalam mencintai, mengasihi, dan menyayangi sesama. Jadi, tidak seperti HV/HKS sebagaimana acapkali ditengarai dipraktikkan sebagian masyarakat zaman now dengan cara menyimpang. Jika terus menyimpang, sebaiknya HV/HKS memang tidak dirayakan.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar