Oleh Putu Rumawan Salain
“Tidak ada kehidupan yang tidak membutuhkan air. Manusia, binatang, tumbuhan memerlukan air untuk menyambung hidupnya. Adi Parwa menyimpan teks tentang air sebagai kehidupan abadi. Perebutan air oleh raksasa dengan para dewa menunjukkan bahwa untuk melangsungkan kehidupan mereka siap menyabung nyawa. Mempertahankan , melangsungkan kehidupan menjadi perlu dan penting walaupun disadari pula bahwa air juga bisa berubah menjadi musibah. Itulah sebabnya kehidupan masa lalu dijumpai disekitar sumber air seperti sepanjang tepi sungai, danau, dan mata air. Kini air dimana-mana, kemana-mana, dengan berbagai sebutan dan menjadi komoditas”.
Ketersediaan air di Indonesia mencapai 69 miliar meter kubik per tahun. Jumlah tersebut pada dasarnya adalah potensi yang dapat dimanfaatkan. Faktanya saat ini sekitar 23% yang termanfaatkan. Dari jumlah termanfaat tersebut sekitar 20% yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air baku, rumah tangga, kota, dan industri. Sejumlah 80% dari sisanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan irigasi.
Persebaran air di Indonesia memiliki sumber daya air yang tidak merata walaupun disebutkan bahwa Indonesia memiliki cadangan air cukup besar yakni ke-5 di dunia. Atas dasar eksisting geografi, sumber daya air di wilayah Indonesia Barat cukup besar, namun makin ke Timur dan Selatan kian berkurang. Ketersediaan air dimaksud kian kurang memadai ketika jumlah sebaran penduduknya tidak merata. Misalnya, Pulau Jawa yang luasnya 7% dari luas Indonesia ditempati oleh sekitar 65% penduduk se Indonesia dengan potensi airnya hanya 4,5% dari potensi air di Indonesia.
Dari Peta Perairan Indonesia terlihat bahwa persebaran potensi air tanah dan air permukaan tercatat bahwa Bali dan Jawa hanya memiliki 6,4%. Sampai saat ini kelas air dan peruntukannya dibagi atas empat kelas yaitu : 1). Kelas 1 digunakan untuk air baku air minum, rekreasi air, perikanan air tawar, peternakan, dan pertanian, 2). Kelas 2 diperuntukan bagi rekreasi air, perikanan air tawar, peternakan, dan pertamanan, 3). Kelas 3 dimanfaatkan bagi perikanan air tawar, peternakan, dan pertamanan, 4). Kelas 4 diperuntukan bagi pertamanan. Untuk jelasnya dapat dibaca pada PP nomor 82 tahun 2001 yang mengatur tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Air di Bali pun tidak memiliki kandungan “debit” yang sama antar kota / kabupaten. Dari peta Hidrogeologi terbaca bahwa sebagian dari Kabupaten Tabanan, seluruh wilayah Kota Denpasar, bagian Selatan Kabupaten Gianyar dan sebagian kecil bagian Selatan Klungkung, dan sebagian kecil kabupaten Karangasem dan Buleleng memiliki kandungan air yang besar.
Sebaliknya di bagian tengah Pulau Bali dari arah Barat hingga Timur pada wilayah pegunungan terbaca kandungan airnya sangat sedikit. Di luar wilayah tersebut terbaca kandungan airnya berada pada kisaran kurang, sedang, dan sedikit. Bahkan di beberapa wilayah Pulau Bali yang terbentuk karena Karts dan Lava memiliki kandungan air yang sangat sedikit sekali.
Ditilik dari Peta Potensi Air Tanah terbaca bahwa sebagian besar di pesisir pantai Bali menyimpan kualitas air yang tidak memadai untuk air bersih. Kapasitas terbesar yaitu 30 liter/detik dari potensi air tanah disumbangkan oleh sebagian wilayah Denpasar, Badung, Tabanan, Gianyar, Klungkung, dan Jembrana. Mayoritas Potensi Air Tanah yang memiliki kapasitas 2 liter/detik melingkupi sebagain besar wilayah pulau Bali. Kondisi ini mengharuskan kita disamping berhemat menggunakan air tanah adalah juga diperlukan rekayasa serta management air di masa mendatang, mengingat jumlah penduduk Bali yang telah mencapai 4,29 juta (Dukcapil, Juni, 2022) ditambah dengan kebutuhan air untuk : pertanian, pariwisata, industri, rumah tangga, perkantoran, perdagangan, kesehatan, pelabuhan, bandara, dan lainnya.
Permasalahan air di Bali menunjukkan angka-angka yang secara serius wajib dicermati! Dari data yang diperoleh ternyata bahwa ketersediaan air di Bali pada tahun 2009 yang lalu sejumlah 4,71 miliar m3/tahun dan menurun menjadi 3,57 miliar m3/tahun ditahun 2013. Dalam kurun waktu empat tahun terjadi penurunan jumlah ketersediaan air yang cukup signifikan.
Padahal pada kurun waktu yang sama terjadi peningkatan kebutuhan air yaitu 5,46 miliar m3/tahun dan di tahun 2013 diperlukan sejumlah 6,23 miliar m3/tahun. Dengan demikian ternyata bahwa pada tahun 2009 dan 2013 telah terjadi defisit air. Bahkan data dari P3E KLHK Bali dan Nusra menyatakan bahwa di tahun 2015 daya dukung air di Pulau Bali defisit sejumlah 1,93 miliar M3.
Lalu bagaimana dengan indeks air? Dari data diperoleh catatan bahwa untuk tahun 2011-2016 masih fluktuatif. Hasil pemeriksaan beberapa sungai di tahun 2016-2017 cenderung menurun. Kuat dugaan tahun berikutnya hingga kini indeksnya kian menurun oleh karena berbagai faktor akibat pesatnya pembangunan. Mirisnya lagi ternyata telah terjadi intrusi air laut di beberapa wilayah dimana kandungan klornya sudah melewati ambang batas bakumutu.
Pemakaian air di Bali dibagi atas enam golongan yaitu : 1). Sosial/Umum, 2). Rumah Tangga, 3). Pemerintah, 4). Niaga, 5). Industri, 6). Lainnya. Dari ke enam golongan tersebut dari data tahun 2015 ternyata bahwa penggunaan air bersih tercatat pada Rumah Tangga dengan tiga kota terbanyak yaitu: Denpasar, Badung, dan Buleleng. Berapakah kebutuhan air setiap orang per hari? Standar Unesco menuliskan bahwa kebutuhan air setiap orang setiap hari adalah 60 liter (sekitar tiga galon Aqua).
Mencermati pemakaian air tersebut diatas yang menyatakan bahwa untuk kebutuhan rumah tangga sangat tinggi agak mencurigakan. Kenapa ? Karena dengan data bahwa pariwisata yang datang ke Bali baik domestik maupun manca negara hingga tahun 2019 bergerak dari angka 9 hingg 12 juta. Seharusnya angka pada golongan Niaga dan Industri meningkat dengan tajam! Ada apa? Di duga banyak diantara pengusaha di bidang pariwisata memanfaatkan Air Bawah Tanah (ABT). Salahkah? Tidak, karena semuanya sudah termuat dala peraturan pemerintah. Kini pelaporan, perijinan, pemantauan, sudahkah dilakukan dengan baik dan benar?
Menilik keadaan tersebut di atas, kemudian dicoba untuk melihat permasalahan di Kota Denpasar atas dasar isu KLHS RTRW yang dihasilkan dari FGD 10 Mei 2019 yang lalu dihasilkan tujuh Isue prioritas yaitu: 1). Bencana Alam, 2). Alih Fungsi Lahan, 3). Sampah dan Sanitasi, 4). Sumber daya Air, 5). Kemacetan, 6). Kependudukan, dan 7). Kesempatan Berusaha. Ketujuh prioritas tersebut kemungkinan sudah bertambah dan atau berubah nomor prioritasnya kini mengingat dinamika pembangunan di Kota Denpasar yang sangat signifikan yang bermuara pada meningkatnya kebutuhan air.
Dengan logika yang sama juga akan berlangsung adanya peningkatan penggunaan air atas golongan yang berkembang di kabupaten-kabupaten berlangsung perkembangan pariwisata dan penduukungnya yang meningkat seperti di kabupaten Badung dan lainnya. Sudah seharusnya pemetaan sumber-sumber air di review kembali sesuai dengan keberadaanya untuk dapat mendukung kebutuhan air, baik air bersih maupun untuk irigasi pertanian /perkebunan.
Pembangunan dan perluasan infrastruktur air dalam konsep one island one management wajib di sinergikan dengan peta kemajuan investasi dan kebutuhan masyarakat setempat. Dengan kata lain negara wajib hadir dan melindungi hak rakyat atas air, dimana pengawasan dan pengendaliannya bersifat mutlak!
Setidaknya tantangan penyediaan air mendatang di Bali antara lain dikarenakan : penurunan luas hutan, peningkatan jumlah penduduk, perkembangan fasilitas industri dan pariwisata, penutupan dan atau perkerasan permukaan tanah/halaman, perubahan iklim, perlindungan dan pemanfaatan air permukaan dengan cerdas, perijinan dan pengawasan penggunaan air bawah tanah.
Untuk itu diperlukan upaya yang serius, terkoordinasi dan berkelanjutan untuk terjaga dan bertambahnya cadangan air di Bali, melalui perluasan hutan, menambah jumlah sumber pasokan air melalui pengelolaan air pemukaan, sungai, danau maupun waduk (Palasari, Dam Tamblang, Buleleng, dan lainnya), penertiban dan pengawasan terhadap pemanfaatan air bawah tanah, membangun penampungan air agar tidak terbuang langsung ke laut berupa embung sekaligus sebagai tempat rekreasi seperti yang dibangun di Sanur, juga sebagai modal air dan mikroklimat. Sosialisasi dan menggalakkan pemanfaatan biopori dan sumur resapan, dan yang terpenting mengimplementasikan Perda RTRWP Bali dengan konsekuen dan konsisten.
Dengan demikian diharapkan defisit air di Provinsi Bali dapat ditanggulangi agar keadilan-keselamatan-keadaban dapat di tegakan di Bali. Melestarikan budaya air beserta seluruh simbol dan maknanya yang merupakan warisan leluhur untuk kemaslahatan orang banyak adalah sebuah kewajiban.
Penulis Guru Besar Unud