dr. Putu Fristy Armatheina. (BP/Istimewa)

Oleh dr. Putu Fristy Armatheina

Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak perubahan pada kehidupan manusia termasuk pada anak-anak. Salah satunya adalah meningkatnya jumlah anak-anak mengalami obesitas, kelebihan massa lemak tubuh.

Menurut Lange SJ (2021) pada tahun 2021, ketika Covid-19 melanda dunia, terdapat body mass indeks (BMI) anak pada usia 3-5 tahun, 6-11 tahun, 12-17 tahun cenderung mulai naik. Bahkan, sekarang kita menyebutnya sebagai endemik, terjadi epidemik obesitas pada anak pascapandemik Covid-19 karena semakin banyak anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan kegemukan.

Anak usia sekolah lebih berisiko karena adanya pandemik Covid-19 sangat mengubah kebiasaan mereka sehari-hari dari yang misalkan harus bangun pagi, harus jalan ke sekolah, ada aktivitas fisik di sekolah. Karena pandemik Covid-19, anak-anak lebih banyak melakukan aktivitas di dalam rumah. Aktivitas fisiknya berkurang dan asupan kalorinya tidak berubah sehingga risiko untuk menjadi kegemukan lebih tinggi.

Faktor-faktor yang berpengaruh tidak hanya biologis, tapi juga faktor psikologis dan sosial atau lingkungan seperti asupannya lebih banyak dan lebih mudah mencari makanan. Mereka tinggal menggunakan gawai untuk pesan makanan melalui aplikasi, Anak-anak memiliki waktu lebih banyak menggunakan gawai untuk bermain di dalam rumah. Anak yang mengalami obesitas berisiko untuk mengalami obesitas pada usia dewasa lebih besar.

Baca juga:  Revitalisasi Soliditas Civitas Akademika Unud

Menurut data pada obesity review (Simmonds M, 2016), sekitar 55% obesitas pada usia anak akan menjadi obesitas pada saat remaja. Sekitar 80% obesitas pada remaja akan bertahan hingga dewasa, kemudian pada saat usia 30 tahun 77% masih mengalami obesitas. Jika berlanjut hingga usia dewasa yang perlu dikhawatirkan adalah kejadian-kejadian penyakit degenerative seperti diabetes, hipertensi, berlanjut menjadi jantung coroner, gagal ginjal dan lainnya.

Penyebab obesitas pada anak bervariasi. Dokter akan mencari tanda atau gejala anak mengalami atau berisiko obesitas, kemudian pemeriksaan fisik dan evaluasi antropometri, pemeriksaan penunjang sesuai indikasi yaitu analisis diit, pemeriksaan laboratorium sederhana seperti gula darah puasa, profil lipid, fungsi hati, fungsi ginjal. Selain itu juga menilai komorbiditas apakah anak terdapat kebiasaan ngorok atau ada masalah di sekolah.

Pada anamnesis yang dicari adalah onset peningkatan indeks massa tubuh (IMT) sebelum usia 5 tahun atau obesitas saat masa sekolah atau saat remaja. Kemudian jika ada riwayat keterlambatan tumbuh kembang maka harus dipikirkan adanya keterlibatan kegemukan ini dengan suatu sindrom genetic misalkan anak dengan down syndrome lebih berisiko untuk mengalami obesitas. Juga pola makan anak dan aktivitas fisik serta riwayat keluarga yang mengalami obesitas dan komorbid seperti diabetes, dan pola kebiasaan hidup keluarganya seperti kebiasaan olahraga di mana anak akan meniru kebiasaan dari keluarganya.

Baca juga:  Pembudayaan Literasi

Faktor penyebab obesitas yaitu primer atau sekunder, untuk primer penyebab nya adalah asupan makan yang banyak namun aktivitas fisik yang kurang, perawakan umumnya normal atau lebih tinggi dibandingkan usianya, perkembangan kecerdasan normal, awitannya bisa kapanpun, kebiasaan hidup sedentary.

Kemudian untuk faktor sekundernya adalah terdapat organ yang terlibat (endokrin, genetic, kelainan sistem saraf pusat), perawakan cenderung pendek, dapat disertai keterlambatan perkembangan dan disabilitas intelektual, umumnya sudah terjadi sejak awal usia anak-anak, terdapat penyakit serupa pada keluarga.

Gejala obesitas pada anak umumnya dagunya ganda, perut bergelambir, disertai gejala komplikasi seperti nyeri panggul, nyeri lutut, kemudian pada kulit, dapat juga terjadi hipertensi.

Anak dan Orang Dewasa

Tata laksana pencegahan obesitas pada anak berbeda pada orang dewasa, targetnya tidak harus selalu turun berat badan. Targetnya adalah tumbuh kembang tetap optimal dengan berat badan 20% di atas berat badan (BB) ideal. Tata laksana holistik terdiri dari pola makan yang benar, pola aktivitas fisik, modifikasi perilaku dari anak dan keluarga.

Pola makan yang benar harus dibentuk sejak dini mulai sejak MPASI oleh karena itu ada yang disebut feeding rules yang bisa diterapkan pada anak yang mengalami obesitas, feeding rules yaitu terjadwal dengan pola makan besar 3x/hari dan camilan 2x/hari.
Camilan diutamakan dalam bentuk buah segar yang dipotong bukan berupa jus. Minum air putih di antara jadwal makan utama dan camilan. Kemudian lingkungan netral tanpa distraksi sering kali anak makan sambil nonton biasanya akan terbawa terus sampai usia sekolah.

Baca juga:  Siapkah Bali Bangkit Tanpa Pariwisata?

Sangat perlu membatasi asupan gula pada anak. Anak yang mengonsumsi sugar sweetened beverages (SSB) secara teratur di antara waktu makan yaitu di antara waktu makan yang seharusnya minum air putih ternyata anak minum teh manis atau minuman bersoda berisiko 2,4 kali lebih tinggi menjadi overweight.

Selain itu, anak-anak harus dibiasakan melakukan aktivitas fisik berupa lari, bermain bola, aktivitas yang meningkatkan kekuatan otot seperti memanjat, minimal 60 menit/hari 3x dalam seminggu. Modifikasi perilaku dilaksanakan dengan mendorong anak untuk melakukan pengawasan sendiri terhadap berat badan, asupan makan, serta aktivitas fisik. Kesadaran berubah idealnya datang dari anak. Apabila tidak berubah dari anak itu sendiri maka anak itu tidak memiliki target tidak memahami bahwa ini adalah suatu yang penting maka tidak akan terjadi banyak perubahan. Orang tua juga harus memberikan contoh kepada anak.

Penulis, Bekerja sebagai dokter umum

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *