Oleh A.A Ketut Jelantik
Di tahun kelima pelaksanaan Bulan Bahasa dan Aksara Bali, euphoria masyarakat masih sangat tinggi. Sekolah sangat antusias menggelar berbagai bentuk mulai dari lomba, festival hingga pertunjukan yang berkaitan dengan Bahasa dan Aksara Bali. Kondisi serupa juga berlangsung di desa-desa.
Fenomena ini tentunya memberikan angin segar di tengah upaya pelestarian Bahasa Bali yang sejak beberapa dekade harus bersaing dengan masifnya gempuran penguasaan Bahasa asing. Pemerintah Propinsi Bali melalui Peraturan Gubenur Bali Nomor 80 tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali, menetapkan pada setiap Bulan Pebruari dilaksanakan kegiatan Bulan Bahasa Bali.
Kegiatan tersebut dapat diselengarakan oleh Desa adat, lembaga pendidikan, swasta dan/ masyarakat. Bentuk kegiatan pelaksanaan bulan bahasa Bali yakni festival, lomba, pameran, pertunjukan, seminar dan kegiaan lain yang relevan. Tulisan ini akan mencoba untuk membahas pentingnya repatriasi dan revitalisasi Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu dan dikaitkan dengan makin masivnya desakan kebutuhan penguasaan bahasa asing seperti Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin serta bahasa lainnya yang dominan dipergunakan dalam pergaulan Internasional.
Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 36 Bab XV UUD 1945 bahwa bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup; bahasa daerah adalah salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara.
Bahasa daerah merupakan entitas kewilayahan yang sarat dengan nilai budaya dan sekaligus menjadi fondasi bagi perkembangan budaya Nasional termasuk perkembangan Bahasa Nasional. Sebagai sebuah kebudayaan keberadaan bahasa daerah dalam konteks eksistensi sebuah kawasan atau region bukan saja merupakan sebuah kebanggaan namun juga merupakan lambang atau identitas daerah dan sekaligus sebagai alat komunikasi dalam masyarakat. Dengan kata lain “meninggalkan” penggunaan bahasa daerah identik dengan mengabaikan lambang dan identitas kewilayahan dan sekaligus “memutus” komunikasi dengan komunitas sosial yang paling dekat.
Dalam kaitannya dengan penggunaan Bahasa Bali, fenomena tersebut tentunya sangat dirasakan. Sejak beberapa tahun belakangan ini ada kecendrungan orang Bali lebih memilih menggunakan Bahasa Nasional atau bahkan bahasa asing dalam berinteraksi dengan orang lain.
Fenomena “ meninggalkan “ penggunaan Bahasa Bali dalam pergaulan sehari-hari baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat khususnya di kalangan generasi muda atau generasi milenial, bukan hanya terjadi di daerah perkotaan, namun juga terjadi di daerah pedesaan. Ini tentunya sangat memprihatinkan.
Dalam pandangan penulis fenomena menurunnya animo generasi muda Bali (baca kaum milenial) untuk belajar Bahasa dan aksara Bali dilatarbelakangi oleh faktor intrabahasa dan ekstrabahasa Bali. Stigma bahwa Bahasa Bali khususnya aksara Bali itu sulit dan membosankan hingga saat ini masih melekat di kalangan siswa.
Percaya atau tidak di kalangan siswa, belajar bahasa Bali atau aksara Bali sama sulitnya atau bahkan lebih sulit ketimbang belajar ilmu eksak seperti matematika atau IPA. Kondisi ini diperparah lagi dengan ketidakcakapan guru dalam memilih metode pembelajaran Bahasa Bali di kelas.
Pemantauan penulis di sejumlah sekolah menunjukan jika masih banyak guru Bahasa Bali yang menggunakan model pembelajaran konvensional yang sesungguhnya sudah tidak sesuai dengan dinamika dan tuntutan. Akibatnya proses pembelajaran tidak efektif dan cenderung membosankan. Output-nya hanya sebatas kumpulan nilai pengetahuan yang tidak dibarengi dengan meningkatnya kompetensi keterampilan berbahasa Bali para siswa.
Bercermin dari permasalahan tersebut, maka keluarnya kebijakan Gubernur Bali sebagaimana tertuang dalam Pergub Nomor 80 tahun 2018 tersebut hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk membangkitkan kembali semangat untuk memahami, mencintai dan menggunakan Bahasa dan Sastra Bali yang mungkin saja menjadi harapkan para leluhur tanah Bali ini.
Penulis, Pengawas Sekolah di Dikpora Bangli