Oleh Ketut Suartaya
Di tengah masyarakat Bali, Bondres berasosiasi dengan suatu kelucuan dan gelak tawa. Ritual keagamaan Hindu yang menghadirkan persembahan teater Topeng, sering meleleh cair menggirangkan distimulasi oleh polah kocak karakter figur-figur rakyat jelata ini.
Belakangan, daya tarik sebuah pertunjukan Calon Arang tidak hanya disihir oleh rinding seramnya saja, namun karena guyuran banyolan para Bondres-nya. Betapa masyarakat kekinian merespons begitu sumringahnya bumbu humor Bondres dalam jagat seni pertunjukan tersebut, dapat ditengok pada pementasan wayang kulit
“Cenkblonk” Dalang I Wayan Nardayana.
Melalui lawakan dua tokoh rakyat yang non pakem, Nang Klenceng dan Nang Eblong–pemunculannya
ditunggu-tunggu penonton–seni bayang-bayang tradisional Bali yang berbingkai artistik klasik berbalur muatan moral ini, terasa enteng, ringan, melipur dan menghibur. Belum dijumpai sumber muasalnya kenapa karakter itu menyandang sebutan Bondres.
Ada yang menduga dari kata mores yang bermakna tak rapi dan kumuh. Mirip maknanya dengan kata tersebut adalah meremes yang dalam bahasa Bali artinya belepotan seperti contohnya saat makan ada remih-remih yang disantap berceceran di mana-mana.
Mungkin karena makna yang negatif dan minor itu, di tengah popularitas Bondres sekarang, ada perumpamaan, misalnya, seseorang atau pemimpin disebut mondres bila berprilaku nyeleneh atau konyol. Namun, terlepas dari belum jelasnya etimologi sebutannya itu, dalam seni pertunjukan Bali seperti pada teater Topeng, Calon Arang, dan wayang kulit, Bondres adalah representasi masyarakat kebanyakan.
Teater Topeng yang lazim menggunakan cerita
babad, menampilkan Bondres sebagai dramatisasi
suara rakyat. Walau masih setia menjadi bagian dari Topeng, Calonarang, dan wayang kulit, tetapi dalam
rentang satu dekade ini, Bondres telah membelot
dari induknya. Ia dengan percaya diri menyempal
menjadi seni pentas tersendiri.
Bondres sering dihadirkan dalam upacara keagamaan dalam konteks suasana suka cita, pernikahan misalnya. Bondres juga sering diundang memeriahkan peristiwa sekuler seperti acara hari ulang tahun hingga perhelatan politik. Bahkan, karena ia begitu fleksibel, saat menjelang pemilu misalnya, para pegiat Bondres sering tiba-tiba dielus dan diayomi pihak organisasi sosial politik, didaulat menjadi corong kepentingan mereka.
Pesta demokrasi kita pun jadi terkesan “berkeadaban” melalui estetisasi humoristik Bondres.
Humor dengan beragam istilah seperti lawak, komedi, dagelan, banyolan dan sebagainya adalah sesuatu yang
khas dan menjadi bagian dari keberadaan manusia. Keuniversalan humor dalam interaksi sosial manusia itu, jejaknya bertebaran di Tanah Air kita.
Masyarakat Bali memiliki sense of humor yang ramah seperti ditulis oleh I Gusti Ngurah Bagus dalam bukunya Satua-satua Sane Banyol ring Kesusastraan Bali. Simaklah, misalnya, dongeng Pan Balang Tamak yang melegenda di tengah masyarakat Bali, dimuati kelucuan satiristik yang mengkomunikasikan pesan moral seperti
sikap kritis, tidak memaksakan kehendak, dan juga sikap mau belajar sepanjang hayat.
Edukasi dalam bungkus humor itu jamak terlihat dalam
beragam seni pertunjukan Bali seperti ditunjukkan Drama Gong–teater rakyat Bali yang muncul
tahun 1967–memberikan ruang luas pada porsi
banyolannya. Bondres hadir dengan keunikan pada karakterisasi topengnya atau tata rias wajah pelakunya.
Pada teater Topeng, digunakan tapel sibak (setengah) dalam penggambaran yang lucu atau cacat seperti bergigi tonggos, bermata juling, bermulut duwer dan sejumlah distorsi wajah yang menggelikan.
Pada Bondres tanpa tapel seperti yang bermunculan belakangan, make up-nya ditoreh komikal dan ada pula yang ekstrem seperti misalnya wajah yang remuk tak karuan.
Keanehan di luar kewajaran adalah salah satu stimulan dari humor. Melalui ketidakwajaran tapel atau make-up-nya, Bondres—dengan kekocakan tutur verbal dan gesture cacat fisiknya— kini digemari sebagian penonton Bali. Memang, menurut pandangan filsuf Yunani Kuno, Plato misalnya, menertawakan kecacatan sebagai kecenderungan isyarat penghinaan dan sikap yang buruk.
Bahkan Aristetoles menuding humor berobjek seperti itu sebagai sikap mengejek dan kurang ajar. Ditambahkan oleh Thomas Hobbes, tertawa atas kelemahan orang lain adalah unjuk kekerdilan jiwa. Namun, ketika era pencerahan berbinar sejak abad XIV, humor disyukuri secara positifistik. Bahkan pada zaman modern, humor
dilihat sebagai respons intelektual dan emosional
untuk kesehatan tubuh dan jiwa.
Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar