Oleh I Gusti Ketut Widana
“Kasepekang” di Desa Adat, Puluhan Warga Karangasem Ramai-ramai Pindah KTP”, begitu judul berita DENPOST.id (14/2/2023). Celakanya setelah mendapatkan KTP di tempat baru pihak “Disdukcapil Hapus Data Kependudukan 34 KK “Kasepekang” (BP, 21/2).
Malang benar nasib krama Bali ini, lalu bagaimana status kependudukan mereka? Model sanksi adat Kasepekang seperti ini tampaknya telah membuat warga Karangasem tersebut kehilangan status sebagai warga negara di Republik ini (apatride), lantaran tidak lagi memiliki KTP. Posisi di tempat asal dikeluarkan, sementara di tempat barunya, KTP yang sudah diterbitkan dihapus lagi.
Kasepekang adalah bentuk sanksi adat, dimana si penerima sanksi akan dikucilkan, diasingkan, atau diberhentikan dari kegiatan di banjar/desa (mabanjar/madesa). Alasannya, karena si pelaku melanggar aturan desa adat tingkat berat, sehingga dianggap pantas diberikan. Biasanya setiap jenis sanksi adat, termasuk Kasepekang tersurat di dalam Awig-awig, sebagai norma hukum adat yang dirumuskan untuk mengatur perilaku warga masyarakat (krama) dalam berinteraksi agar tercipta ketertiban, ketenteraman dan kedamaian.
Sebenarnya, sanksi adat Kasepekang (pengucilan) sejak lama disorot lantaran menimbulkan kontroversi. Selain terkesan menunjukkan arogansi adat, juga merugikan hak-hak dasar (asasi) krama yang terkena sanksi, sekaligus melanggar nilai-nilai ajaran agama (Hindu). Sejatinya, apa yang disebut “Adat” bersumber dari kebiasaan perilaku lalu menjelma sebagai tradisi berpola hingga berkembang menjadi aturan hukum adat (awig-awig). Merujuk kitab Manawadharmasastra II.6, kedudukan adat termasuk katagori “Acara” adalah lebih rendah dari “Sruti” (kitab wahyu) dan “Smrti” (kitab hukum) serta “Sila” (teladan orang suci). Karena itu tidak dapat diterima jika aturan hukum adat justru mengingkari atau bertentangan apalagi ‘mengatasi’ sumber hukum (kebenaran) yang lebih tinggi, dalam hal ini nilai-nilai ajaran Hindu seperti Wasudewa kuthum bhakam, Tat Twam Asi, dan terutama Tri Hita Karana.
Jika dijabarkan, nilai ajaran Hindu dimaksud, lebih menekankan pada terbangunnya suatu hubungan sinergis dan harmonis, baik secara vertikal (niskala) kehadapan Hyang Widhi maupun secara horisontal (sekala) kepada sesama manusia. Makna filosofis ajaran Hindu tersebut kemudian terimplementasi ke dalam asas hidup masyarakat Bali yang disebut saguluk sagilik, paras paros sarpanaya, salunglung sabayantaka yang dalam penerapannya mementingkan terjalinnya rasa persatuan dan kesatuan sebagai sesama manusia. Bahwa apapun yang terjadi, baik-buruk, benar atau salah sebagai sesuatu yang wajib dimiliki atau setidaknya dimaklumi bersama (druwenang sareng) dalam ikatan persaudaraan (manyama braya). Sehingga sebesar apapun suatu tindakan itu dianggap keliru atau salah, tetap dapat dicarikan solusi dalam suasana kebersamaan (komunal) atau kekeluargaan (kolegial), tidak frontal menjatuhkan sanksi Kasepekang.
Betapapun fungsi hukum adat yang diperilakukan unsur struktur banjar/desa adat adalah untuk mengayomi bukan mengintimidasi, melindungi bukan mengisolasi, membina bukan ‘membinasakan’, dan merangkul bukan memukul. Lebih dari itu, pengenaan sanksi Kasepekang, mengesankan watak adat (banjar/desa) seakan-akan tampil sebagai “penguasa” plus perangkat awig-awig selaku “panglima” dengan segala kewenangan yang bisa saja diterapkan sewenang-wenang oleh prajuru. Tidak heran jika sanksi Kasepekang terus saja bergulir seolah tidak bisa dianulir, apalagi dibanting setir agar kembali menggunakan alam pikir yang lebih tinggi melalui tafsir nilai-nilai ajaran agama (Hindu). Sepatutnya kehidupan guyub dalam adat tidak boleh sampai mengingkari apalagi melanggar ajaran agama (Hindu) yang telah menjiwai karakteristik masyarakat Bali yang dikenal sosialistis religius.
Artinya, ada opsi sanksi adat lainnya yang secara arif dan bijak bisa dipilih dengan tetap mengedepankan asas kebersamaan/kekeluargaan dan kereligiusan, semisal dalam bentuk permohonan maaf sakala-niskala (pangaksama/pangampura/guru piduka), atau berupa pengenaan denda materi (artha danda). Tidak perlu lagi menerapkan sanksi Kasepekang, yang mengandung dua unsur pemberat hukuman : sepek dan sepak. Selain terkena sepek (pengucilan sosial) sekaligus juga disepak dari lingkungan dengan konsekuensi penghapusan/pencabutan status administrasi (baca : KTP) sebagai warga negara setempat. Kalau bisa, jangan sampai ajak krama/nyama galak, tetapi ajak pisaga (orang luar) terdesak, masih untung tidak terdepak.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar