John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Pada akhir Januari lalu, sebuah postingan beredar di media sosial, menggambarkan ribuan orang mengantri di Mal Indonesia untuk membeli produk jam tangan pintar Jepang dengan diskon hingga 50 persen. Orang pun berdesak-desakan sampai ada yang jatuh pingsan karena kehabisan oksigen.

Meski postingan itu kemudian dinyatakan hoaks, tapi ada pesan tersirat yang tersampaikan. Masyarakat Indonesia sudah terperangkap dalam pola hidup konsumeristik akibat tekanan budaya, mode atau fashion. Buktinya ada di mana-mana. Bagaimana kita menyikapi fenomena ini?

Budaya Konsumerisme

Pascakrisis moneter 1998, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, dengan konsumsi rumah tangga sebagai penggerak utama pertumbuhan itu. Meski demikian Bank Dunia pernah melaporkan di 2015 bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa dinikmati oleh 18-20 persen penduduk. Artinya, kesenjangan menjadi persoalan kronis yang belum terselesaikan di negeri ini. Kalangan berpenghasilan tinggi menjadi segmen konsumen yang paling berdaya di pasar. Mereka cenderung mengonsumsi, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangaan dan papan, tapi juga memberli barang-barang mewah, berwisata keluar negeri, dan mengenyam pendidikan di universitas-universitas ternama.

Sebuah kajian memperkirakan orang kaya baru di Indonesia akan meningkat menjadi 65 persen selama 5 tahun mendatang. Dengan skenario Pendapatan Domestik Bruto sekitar 5-6 persen pertahun, jumlah masyarakat komsumtif di Indonesia akan meningkat dari 80 juta di tahun 2020 menjai 135 juta di 2030. Gejala ini ditandai oleh meningkatnya jumlah crazy rich, sultan-sultan baru yang suka memamerkan kekayaan dan kemewahan. Teori konsumsi tanda Bandrilard mengatakan bahwa, perilaku konsumsi dewasa ini tidak lagi berdasarkan manfaat atau kegunaan melainkan berdasarkan simbol simbol yang melekat pada barang atau jasa itu. Dengan demikian orang membeli jam tangan rolex yang senilai miliaran rupiah bukan sebagai penanda waktu, melainkan untuk menunjukkan status sosial.

Baca juga:  Tumpek Landep, Kendalikan 'Idep' dalam 'Idup'

Berbagai aplikasi market place di handphone memberi kesempatan bagi para calon konsumen untuk lihat-lihat (window shopping) produk. Berbagai macam promo seperti: flash sale, kejar diskon, tanggal kembar, cash back, dan yang paling parah, gratis ongkos terus menggedor bawah sadar masyarakat untuk membeli. Kita memang perlu salut kepada semua orang sukses. Tak sedikit dari mereka adalah para kampiun yang berhasil mengembangkan bakat dengan bekerja keras dan mengatasi berbagai persoalan sebelum menjadi orang sukses dengan banyak uang.

Tapi kita tidak perlu merayakan konsumerisme, yaitu gaya hidup yang selalu ingin membeli dan menumpuk barang-barang untuk sekedar pamer dan dianggap sebagai orang kaya dan terkenal. Manusia modern sudah terperangkap dalam ironi yang secara tepat diungkapkan Will Rogers. ‘’Too many people spend money they don’t have, to buy things they don’t want, to impress people they don’t like”.

Kesadaran Baru

Mahadma Gandhi pernah mengatakan, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tak mampu memenuhi keserakahan setiap orang”. Banyak pengamat telah mengingatkan bahwa pola konsumsi masyarakat modern telah menempatkan bumi dalam kondisi darurat.

Baca juga:  G20 dan Infrastruktur Kota

Orang lupa bahwa, semakin banyak barang yang terkumpul akan semakin tinggi pula kecemburuan sosial. Tingkat kepuasaan, kesenangan dan kebanggaan terhadap perolehan barang-barang yang pada awalnya tingi, lama kelamaan berkurang bahkan hilang sama sekali. Padahal, perolehan barang-barang itu sudah melalui perjalanan panjang mulai dari mengeksploitasi bumi hingga proses produksi yang menghasilkan polusi, limbah dan sampah yang berdampak buruk terhadap lingkungan hidup.

Sudah waktunya manusia modern meninjau kembali tabiat belanjanya (spending habit). Diperlukan tingkat kedewasaan pertimbangan dan pengendalian diri, sebelum membelanjakan uang. Masyarakat modern perlu selalu mengingatkan diri bahwa kebahagiaan tidak ada di super market. Kita diciptakan untuk tujuan yang lebih besar dari pada sekedar kepemilikan barang material. Di mata suku Indian Appache orang kaya adalah orang yang berhasil mengumpulkan harta benda sebanyak-banyaknya untuk dapat dibagikan kepada sebanyak mungkin anggota sukunya.

Pola hidup sederhana merupakan pilihan rasional di tengah budaya konsumerisme, manakala bumi dan segala sumber dayanya itu terbatas. Pilihan hidup sederhana perlu kita lakukan bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan demi keselamatan kita bersama dan keturunan kita.

Pola Hidup Sederhana

Dalam hemat penulis, pola hidup sederhana dapat kita terapkan berdasarkan empat langkah berikut: Pertama, menilai kembali. Artinya, kita perlu mengevaluasi, apakah investasi waktu, tenaga, pikiran, keuangan yang kita lakukan selama ini memang untuk mendapatkan barang yang benar-benar penting? Apakah kita masih bisa hidup layak tanpa barang-barang itu, atau sebaliknya?

Baca juga:  Normalisasi Bali

Kedua, berhenti meniru orang lain lain. Keputusan untuk menganut pola hidup sederhana artinya kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Kita mematikan hasrat untuk pamer dan tidak lagi meniru gaya hidup, teman atau kelompok yang suka belanja barang-barang mahal, dll. Risiko mengambil pola hidup sederhana mungkin kita akan merasa sedih dan ketinggalan. Sebaliknya, mengikuti keinginan membandingkan diri dengan orang lain akan membuat diri kita tiba-tiba merasa kekurangan ini dan itu.

Ketiga, batasi pesan negatif. Yaitu pesan-pesan yang dapat mengalihkan perhatian dari niat kita untuk mulai menghayati pola hidup sederhana. Salah satu cara adalah dengan meng-unfollow orang atau kelompok yang selama ini menjadi trendsetter kita dalam hal fashion, travelling, belanja online, dll. Dengan berhenti menjadikan mereka sebagai panutan, kita menjauhi godaan untuk meninggalkan pola hidup sederhana. Keempat, pesan positif. Maksudnya pesan-pesan yang menguatkan kita untuk tetap pada jalur pola hidup sederhana. Menjalani pola hidup sederhana di tengah budaya konsumerisme ini, sama dengan hidup melawan arus. Karena itu kita butuh dukungan dari tokoh-tokoh yang sudah berpengalaman dalam hal itu. Ada banyak orang kaya di Indonesia yang tetap memilih pola hidup sederhana.

Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *