Oleh Agung Kresna
Pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan lebih dari 30 tahun lalu, saat ini menghadapi tantangan kesenjangan dan polarisasi sosial serta konflik bersenjata. Tantangan ini justru menghambat penyelesaian berbagai permasalahan, bahkan menimbulkan situasi kompleks penuh ketidakpastian.
Alejandra Frausto Guerrero, Menteri Kebudayaan Meksiko, dalam Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Kebudayaan (Mondiacult) 2022 yang berlangsung pada 28-30 September 2022 di Meksiko, mengusulkan agar kebudayaan menjadi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) tersendiri, sebagai SDGs ke-18.
Selama ini pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama, yaitu kemakmuran ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan. Konferensi Mondiacult 2022 ini melahirkan kebudayaan menjadi pilar ke empat, sebagai upaya memperkuat dan membumikan pembangunan berkelanjutan. Melalui pendekatan kebudayaan sebagai pilar keempat, maka secara tidak langsung pembangunan berkelanjutan akan meningkatkan daya lenting masyarakat, memperkuat inklusi, dan kohesi sosial. Sehingga akan melindungi lingkungan hidup dan pembangunan yang berpusat serta berakar pada manusia itu sendiri.
Pada gilirannya, kebudayaan akan diperlakukan sebagai barang publik (public goods), sebagaimana halnya dengan pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini sekaligus sebagai pengakuan bahwa : “Kebudayaan adalah satu-satunya energi terbarukan yang dapat mempersatukan kita untuk masa depan yang lebih berkelanjutan”. Harus kita akui bahwa kebudayaan adalah DNA (deoxyribonucleic acid) bangsa Indonesia. Kebudayaan merupakan materi genetik yang diturunkan dan khas, mengisi rantai molekul dalam tubuh setiap orang Indonesia. Rantai molekul orang Indonesia bak memuat instruksi genetik kebudayaan yang dibutuhkan dalam seluruh siklus hidupnya.
Dengan cara pandang ini, Indonesia wajib menumbuhkan ekosistem kebudayaan yang sehat dan berkelanjutan, dengan memperkuat data kebudayaan sebagai basis kebijakan. Sehingga status dan hak sosial ekonomi para seniman menjadi terjamin. Niscaya kebudayaan juga akan semakin kokoh. Semua ini tentu sejalan dengan misi kebudayaan dalam visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Bahwa eksplorasi kebudayaan dalam industri pariwisata Bali tidak boleh berubah menjadi eksploitasi kebudayaan. Semua harus ditujukan bagi pelestarian kebudayaan, alam dan gumi Bali secara komprehensif.
Negara pada galibnya harus mendukung ekonomi berbasis kebudayaan dan kreativitas, dengan memperkuat kebudayaan beserta perangkat regulasinya guna investasi yang dibutuhkan. Sehingga pemanfaatan ekonomi kebudayaan ini tidak terperangkap dalam komersialisasi kebudayaan yang berlebihan. Paradigma kebudayaan sebagai public goods tentu akan menempatkan kebudayaan di jantung pembangunan berkelanjutan. Bukan sekadar menjadi pelengkap dalam pembangunan. Sehingga kebudayaan akan berkembang dengan sehat melalui ekspresi budaya yang melihat kekayaan budaya tidak sekadar sebagai barang dagangan.
Kebudayaan Bali yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, selalu diperbarui melalui inovasi guna menjawab tantangan yang terus berubah. Kebudayaan sebagai public goods dapat digunakan oleh semua orang sebagai energi terbarukan, tanpa khawatir sumber daya ini akan habis pada suatu saat nanti.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar