Ngurah Puja. (BP/Istimewa)

Oleh Ngurah Puja

Pada tahun 2023 hari raya Nyepi ini jatuh pada hitungan Tilem Kasanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian Dewa-Dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.

Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana
Agung/macrocosmos (alam semesta). Selama perayaan hari raya Nyepi ini, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu seperti Malasti, Tawur (Pacaruan), Pangrupukan, Puncak Hari Raya Nyepi, dan diakhiri dengan Ngembak Geni.

Hari Raya Nyepi yaitu jatuh pada pinanggal pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10) menurut kalender Bali dan secara nasional jatuh pada tanggal 22 Maret 2023.
Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa.

Ritual Panyepian akan dimulai pukul 06.00 WITA sampai dengan pukul 06.00 WITA keesokan harinya yaitu tgl 23 Maret 2023. Pada hari ini umat Hindu harus mampu mengontrol diri dari empat pantangan yang wajib dilakukan oleh umat Hindu. Keempat pantangan itu disebut dengan “Catur Brata Panyepian”, yaitu :

Baca juga:  Mitigasi Terhadap Perubahan Iklim

(1) Amati Geni. Geni dalam bahasa Bali mengandung makna api. Dengan kata lain, amati geni artinya tidak
boleh menyalakan api seperti memasak, menyalakan lampu dan tidak boleh mengobarkan hawa nafsu selama 1 hari tersebut.

(2) Amati Karya. Dalam bahasa Indonesia, karya berarti kerja. Sementara itu amati karya adalah tidak diperbolehkan melakukan kerja atau kegiatan fisik dan tidak bersetubuh, melainkan tekun fokus untuk melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.

(3) Amati Lelanguan. Kata lelanguan juga termasuk bahasa Bali, yakni berasal dari kata langu yang berarti hiburan atau rekreasi. Dengan demikian, amati lelanguan berarti tidak mengadakan hiburan/rekreasi atau bersenang-senang, termasuk tidak makan dan tidak minum.

(4) Amati Lelungan. Kata lelungan berasal dari bahasa Bali, yakni dari akar kata lunga yang berarti pergi. Oleh karena itu, amati lelungan mengandung arti tidak berpergian kemana-mana, melainkan senantiasa mawas diri di rumah serta melakukan pemusatan pikiran ke hadapan Tuhan, dalam berbagai prabawa-Nya (perwujudan-Nya) yang telah disemayamkan di dalam organ-organ manusia sepeti telah disebutkan di atas.

Baca juga:  Mengelola Air Hujan Selamatkan Alam

Belakangan ini pengimplementasian Catur Brata Panyepian ini dirasa mulai menurun, ini ditunjukan dengan adanya patroli oleh Pecalang yang semakin ketat dari pagi ke pagi lagi. Dalam Bahasa Bali, pecalang diambil dari kata “celang” yang artinya tajam indranya. Pecalang adalah polisi tradisional yang bertugas menjaga, mengamankan, menertibkan desa, wilayah, baik dalam aktivitas sehari-hari maupun upacara adat atau keagamaan.

Singkatnya, pecalang merupakan polisi adat Bali. Tentunya, mereka akan berbagi tugas dengan satpol PP atau Polisi Sektor (Polsek). Pecalang ini sudah dikenali dan disegani oleh masyarakat Bali. Ciri khas dari pecalang ini mengenakan pakaian adat Bali berupa atasan hitam, bawahan kotak-kotak dan penutup kepala khas Bali di jalan-jalan raya.

Ketatnya patroli yang dilakukan ini tentunya karena di beberapa daerah yang memanfaatkan kesempatan Hari Raya Nyepi ini untuk bisa berkumpul dengan rekan-rekan di daerah tempat tinggal yang pada umumnya jarang bisa bertemu karena kesibukan masing-masing. Bahkan dilakukannya hiburan-hiburan tradisional seperti tembing, permainan kartu yang basicnya bisa dilakukan di ruang tertutup juga kerap dilakukan pada hari raya ini.

Baca juga:  Empat Desa di Abang Gelar Nyepi, Sekolah dan Pelayanan Publik Ditutup

Hari Nyepi ini harusnya dapat menjadi momentum bagi setiap orang untuk melakukan manajemen pada diri sendiri sekaligus intropeksi diri dari segala aktivitas yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya sehingga setelah mampu menjalankan Catur Brata Panyepian di Hari Raya Nyepi ini keesokan harinya setiap orang bisa menjalankan ritual selanjutnya yaitu Ngembak Geni.

Ngembak Geni merupakan penanda berakhirnya Catur Brata Panyepian. Ngembak Geni juga menjadi momen di mana umat Hindu memohon kepada Sang Hyang Widi
untuk mendapatkan keteguhan hati serta kesucian selama kurun waktu satu tahun sekaligus saling memaafkan pada sesama agar mendapatkan berkah dari Sang Hyang Widhi. Pada momen tersebut, umat Hindu biasanya mengunjungi keluarga, teman dekat, teman seprofesi, dan lainnya untuk saling memaafkan atas segala kekhilafan dan kesalahan yang sudah terjadi sebelumnya.

Penulis, Pegawai PLN Bal

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *