Oleh Marjono
Betapa tidak elegannya ketika para elit negeri ini hanya saling hujat, menghina, menghakimi dan melemahkan bahkan merasa paling hebat di negeri ini. Tentu saja, sebaliknya kebanggaan bersama, punya elit yang otaknya cemerlang dan welcome kolaborasi bahkan gotong royong, keroyokan menyelesaikan PR-PR besar bangsa ini. Sudah saatnya kita bergandeng tangan, urun angan dan turun tangan peduli atas nasib dan masa depan republik.
Aksi mutual semacam itu tentu bakal diikuti, dicontoh dan dipraktikkan masyarakat, sehingga apapun situasinya, elit harus mampu memainkan peran profetik dan integritas tinggi sebagai kapital daya hidup bagi generasi zaman now.
Geleran perilaku elit bisa kita monitor dari manapun, lewat media cetak, elektronik bahkan media virtual maupun media social. Setiap elit punya style dan karakter sendiri-sendiri, ada yang cool, ada yang vokal dan meledak-ledak, juga ada yang selalu menginspirasi sekaligus mengedukasi tanpa frasa menggurui.
Itulah kemudian, penyatuan atas satu bahasa di antara elit perlu diperhatikan kembali, sehingga tak bertolakbelakang antara organisasi, rakyat dan negara, karena masih dalam satu rumah, satu bendera maupun satu koloni. Hal itu agar masyarakat tak menjadi limbung dan bingung, siapa yang digugu. Sehingga bisa dipahami, elit itu menerima rakyat apa adanya tapi tak pernah membiarkan masa depan rakyat seadanya.
Demokrasi pada tahun 2024, terdapat banyak partai politik demikian pula tak sedikit elit, termasuk calon elit, sehingga akan jauh lebih banyak pula referensi model perilaku elit yang dapat kita adopsi dalam mengawal pendidikan politik atau melek politik bagi masyarakat.
Jika kekuasaan menjadi fokus elit, semoga selalu berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, track para elit pun juga mesti linear dengan harapan masyarakat. Namun, tentu sikap kritis dan membaca setiap perilaku elit menjadi bagian dari rasa cinta kita demi dan untuk negara.
Sejatinya keberhasilan elit, khususnya elit politik bukan diukur dari suaranya yang menggelegar, sering nongol di layar televisi mapun koran/majalah, suka omong pedas, bahkan hebohnya dia dalam menggiring opini publik menuruti kehendaknya. Salah satunya adalah seberapa produk perundangan yang telah dihasilkan selama masa bhaktinya untuk kemaslahatan rakyat, khususnya kaum peri-phery.
Involusi
Takala perilaku para elit sudah bagus, sedikitnya akan berdampak positif terhadap capaian kinerjanya. Tentu kita sangat mengharapkan para elit kita bisa menjadi role model bagi masyarakat dan tidak lagi mengekshibisi perilaku-perilaku yang jauh dari harapan bahkan melenceng, sperti korupsi, gratifikasi dan pungli maupun hedonis misalnya.
Negara yang damai, tenteram dan aman juga bangsa yang toleran, saling menghormati, menghargai perbedaan dalam semangat gotong royong merawat NKRI adalah tumpuan besar seluruh elemen rakyat. Beda ceritanya, saat para elit masih berkutat pada persoalan seperti yang dinamakan sindroma kepiting, yaitu keinginan untuk saling jegal dan rentan hadirnya kompetisi yang tidak sehat, itu hanya akan menjauhkan dari amanah ibu pertiwi.
Keliaran sindrom kepiting meminjam istilah Hamdi Muluk, ditandai dengan motivasi yang sangat kuat untuk menarik ke bawah (pull-down motive) orang-orang yang sudah berada di atas. Sama saja dengan kepiting yang dijual dengan memasukkannya ke dalam keranjang.
Coba kita perhatikan kepiting-kepiting yang sudah berada di dalam keranjang mereka tidak pernah bisa escape. Naluri seekor kepiting selalu berupaya memanjat untuk keluar, kepiting-kepiting yang lain akan mengkait dan menjepit juga nggondheli maupun menarik kepiting lain tersebut hingga jatuh lagi ke keranjang.
Orang yang sedang mengalami sindrom kepiting, memiliki prinsip bahwa “bila saya tidak dapat memilikinya, orang lain juga tidak akan mendapatkannya.” Dalam kalangan elit ASN, contoh mereka yang mengalami sindrom ini adalah ketika staf atau pejabat di institusi pemerintah menebar hoaks suap karena kawannya memperoleh promosi seorang pejabat ASN mau dipromosikan atau telah memperoleh promosi.
Sudah saatnya dan barangkali di antara kita atau diri kita sendiri sedang menjadi elit, penting segera mengakhiri sindrom kepiting yang lebih suka mempertunjukkan saling jegal dan menjatuhkan orang atau kelompok lainnya. Jika kita terus saja seperti kepiting, maka kita tergerus pada titik involusi. Mencintai dan bekerja, itulah jawaban tokoh psikoanalisis, Sigmund Freud, ketika ditanya sari pemikirannya di akhir hayatnya.
Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng