Oleh Kadek Suartaya
Celuluk digambarkan sebagai figur yang menakutkan sekaligus intim dengan masyarakat Bali. Ia dipandang
menyeramkan karena dikatagorikan sebagai leak. Identitas mistisnya ini sering ditunjukkan dalam seni pertunjukan Bali.
Kedekatan Celuluk dengan masyarakat Bali kian akrab sejak menyeruaknya ogoh-ogoh pada tahun 1980-an. Karakter Celuluk sebagai imajinasi bhutakala, termasuk paling umum direkayasa-artistik dalam arak-arakan ritual pangrupukan, sehari menjelang Nyepi itu. Penonton seni pertunjukan Bali, pada awalnya mengenal penampilan Celuluk dalam teater Calonarang.
Tokoh ini dihadirkan sebagai siluman murid penganut ilmu hitam Ni Calonarang, si janda sakti dari Dirah. Celuluk muncul pada saat teror horor Walunateng
Dirah terhadap rakyat Kerajaan Airlangga.
Mengingat keberadaan Celuluk belum terdeteksi pada literatur kuno dan catatan para peneliti periode era modern, memunculkan penasaran masyarakat pegiat seni mengenai siapa gerangan yang menciptakan karakter Celuluk, baik wujud kesenirupaan topengnya maupun pengidentitasan seni pemeranannya dalam sejumlah genre seni pertunjukan Bali.
Ketika diteliksik, mengedepanlah nama I Dewa Putu Kebes dan I Wayan Monolan, walaupun hingga kini
masih perlu diulik sejauh mana hubungan Kebes dengan Monolan dalam proses kreatif penciptaan karya seni yang mengkristal dengan sebutan Celuluk itu. Kedua orang seniman (almarhum) ini berasal dari desa yang bertetangga yaitu Dewa Kebes dari Desa Batuan dan Monolan dari Desa Singapadu.
Kedua wilayah di Sukawati, Gianyar tersebut, sejak lampau dan hingga kini dikenal memiliki pegiat seni tari dan seni rupa yang tangguh. Alkisah tapel Celuluk digagas oleh pelukis Dewa Putu Kebes, tahun 1946. Topeng Celuluk itu kiranya tercipta oleh atmosfire Desa Batuan zaman itu.
Kutukan dan ancaman dendam kesumat I Gede Mecaling, penganut ilmu hitam asal desa setempat yang terusir ke Nusa Penida (menurut Babad Dalem Sukawati) membayangi masyarakatnya secara turun-temurun. Walau demikian, sebagai penggemar adu jangkrik, Kebes tak mengurungkan hasratnya mendapatkan jangkrik di tengah malam, pada sasih kenem hari-hari keramat yang dicemaskan datangnya
pembalasan Gede Mecaling.
Menenteng sebuah lampu teplok, Kebes yang juga suka sabungan ayam kecil, gocekan, menyusuri sawah yang tak jauh dari rumahnya. Di sebuah pematang sawah, ia mendengar suara nyaring jangkrik. Ketika tangannya bersiap menangkap jangrik jantan itu, di belakangnya terdengar dengus aneh.
Lampunya tiba-tiba padam. Saat menoleh, di punggungnya ada bayangan hitam jangkung terkekeh meringkik. Tak berpikir panjang, Kebes berlari pulang tunggang langgang.
Syahdan, bayangan hitam bertaring panjang itulah yang kemudian menginspirasi sang pelukis membuat sebuah tapel yang dikenal sebagai Celuluk. Di Desa Singapadu, pada tahun 1948, menguak gagasan menggarap sebuah pementasan yang dapat disaksikan para pelancong, tanpa perlu menunggu adanya odalan.
Trio seniman Singapadu, Tjokorda Oka Tublen, I Wayan Geria, I Made Kredek, menciptakan Barong Kuntisraya, di mana di dalamnya ditampilkan figur-figur mistik, diantaranya berwujud Celuluk yang dibawakan secara khas oleh penari Wayan Monolan. Dalam perkembangannya, dari seni pentas turistik, Monolan sering diundang menampilkannya dalam pementasan Calonarang.
Begitu kentalnya identitas kesenimanan I Monolan sebagai penari Celuluk, sehingga masyarakat pengagumnya latah “mengganti” penyebutan karakter Celuluk menjadi Monolan. Kini, Celuluk dijajakan sebagai souvenir jagat pelancongan serta bukan semata diarak sebagai ogoh-ogoh saja, namun banyak pula dikenal lewat platform digital jagat maya.
Bahkan di dunia nyata pun, Celuluk sempat melanglang mancanegara, di antaranya ke Negeri Paman Sam. Keberadaan Ratu Gede Gombrang yang diusung wingit masyarakat Ubud bermuasal dari persepsi profan sebuah topeng Celuluk yang sempat dibawa oleh seorang warga negara Kanada, Carrel, ke Amerika. Karena ada tanda-tanda gaib pada tapel itu, lalu dipulangkan lagi ke Bali, 1990, yang kemudian disakralkan di Puri Saren Kauh (Ubud).
Celuluk sakral, sejatinya, juga di-sungsung sejumlah komunitas di Bali. Belakangan, di tengah centang perenang kehidupan, Celuluk juga bergentayangan dalam ruang-ruang sekuler seperti tampak dijadikan atribut suporter sepak bola, diusung pada perayaan Halloween, dan digamit sebagai media bercandaan di TikTok.
Mungkin, Kebes dan Monolan, di alam sana, tak menduga karya seninya, yang tercetus secara natural tanpa obsesi dan pretensi gagah konseptual, kini fenomenal—bisa jadi monumental jua.
Penulis pemerhati seni budaya, staf pengajar ISI Denpasar