Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Thrifting (proses berburu barang-barang bekas) bukan isu baru. Jika dulu pemerintah terutama aparat keamanan kerap berbaku tembak diperairan-perairan tikus di luar Pulau Jawa dan lain-lain untuk menghalau para penyelundup barang bekas impor atau bahasa kerennya sekarang thrift (barang bekas impor bekualitas bagus).

Waktu bergulir, kini thrift kembali seolah menjadi “sesuatu,” baik dari aras bisnis maupun fashion. Terlebih thrift sekarang bukan hanya dilirik mereka yang berkantong pas-pasan alias tipis. Tapi kini, booming thrift terus mencuri hati masyarakat di negeri ini.

Selebriti atau artis pun tak ketinggalan turut meramaikan pasar thrift bahkan bukan sekadar sebagai buyer tapi sudah menjadi pemakai bahkan pecandu hobi thrifting. Pasar thrift tak pernah ambil pusing dengan data BPS tentang angka kemiskinan yang masih
cukup tinggi, apalagi masih ditingkah dampak pandemi dan bencana yang ikut memicu deretan penduduk miskin menjadi-jadi.

Ketika masyarakat sudah gandrung terhadap thrift, maka kemudian mereka melancarkan thrifting. Mungkin
saja secara fisik seperti pakaian, sepatu atau tas dan sebagainya masih cukup baik mungkin cuma cacat atau luka sedikit tapi karena impor minded dan orientasi branded segala cara ditempuhnya.

Baca juga:  Transformasi Pembiayaan Digital UMKM

Inilah sebuah cinta lama yang bersemi kembali. Tapi tak semua gerai, butik atau thrift shop menyediakan barang-barang branded, tapi sebenarnya lebih banyak menyiapkan rerupa barang yang berkualitas.

Bisnis thrift jelas melawan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas karena dianggap berpotensi membahayakan kesehatan. Pada Pasal 2 regulasi di atas berbunyi “Pakaian Bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia”, dan pasal 3 “Pakaian Bekas yang tiba di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau setelah Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan Undang-undang.”

Pihak berwenang, Balai Pengujian Mutu Barang, Dirjen SPK, dan Kementerian Perdagangan melakukan uji coba terhadap pakaian bekas impor, dan menemukan sejumlah bakteri seperti S. Aureus, E. Coli, dan Kapang. Penjualan thrift juga melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Praktik di lapangan bisnis thrift pun berjubel di media sosial maupun di e-commerce. Para penjaja atau pebisnis thrift memang menjanjikan keuntungan yang cukup besar, bisa 3-4 kali lipat dari modal yang ditebar. Dengan perawatan yang baik, barang-barang thrift juga bisa bertahan lama karena mutu bahannya memang bagus.

Baca juga:  Optimisme Holding BUMN Pariwisata

Gaya berpakaian ala thrift ini mencapai masa kejayaannya pada tahun 90-an. Masa itu merupakan era keemasan Kurt Cobain dengan gaya hidup grunge-nya yang tengah menjadi panutan bagi hampir seluruh anak muda di dunia kala itu.

Thrift tak sedikit dari hasil selundupan orang yang tidak bertanggung jawab, sehingga merekamengabaikan bea masuk atas barang impor, sehingga negara sangat dirugikan, padahal biaya-biaya tersebut bisa membantu pemerintah dalam penganggaran pembangunan yang masih banyak menyisakan PR, seperti kemiskinan, kesehatan, kesejangan, pendidikan, ekonomi, lingkungan hidup, dan sebagainya.

Namun demikian, belakangan tren thrift dengan thrifting-nya kian menjadi dengan menjamurnya thrift shop yang secara terang-terangan sudah dibikin bisnis. Entah apa yang dipikirkan pemda saat ini, pemda seolah tutup mata atau pura-pura tidak tahu, tapi pajak toko tetap jalan atau sekurangnya masih ada yang bermain-main di jalan tikus.

Baca juga:  Menjawab Tantangan ‘’Kampus Merdeka’’

Bukan Murahan

Bahkan beberapa daerah berunjuk gigi dengan menggelar thrift festival atau thrift fair. Memang di satu sisi sangat membantu warga berpenghasilan rendah untuk memiliki pakaian layak pakai.

Namun pada segi lainnya secara pelahan namun pasti bakal mematikan rintisan usaha atau bisnis pemula dari UMKM kita. Karena secara sadar atau tidak dari persoalan tarif atau harga, thrift masih jauh di bawah harga produk UMKM.

Beberapa mahasiswa atau milenial sangat terbantu dengan hadirnya thrift di thrift shop ini, bahkan beberapa mahasiswa juga menjadikan thrift sebagai bisnis sampingan di luar kuliahnya. Mau tak mau, membanjirnya thrift menjadi pukulan telak bagi kawan-kawan UMKM, demikian juga pemerintah khususnya pada sektor-sektor yang punya intimitas dengan keluar-masuknya barang dari dan ke luar negeri, mesti ada kontrol yang lebih intensif ketimbang menjadi kuda troya atas produk domestik kita yang butuh naik kelas. Terakhir, jangan pernah membeli gaya hidup. Cantik dan gagah dalam kesahayaan atau kesederhanaan jauh lebih elegant ketimbang nestapa kemudian.

Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *