Peneliti klimatologi dari Pusat Riset Sains dan Teknologi Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Erma Yulihastin. (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Fenomena perubahan iklim yang memanaskan suhu bumi telah memicu peningkatan cuaca ekstrem di Indonesia. Hal itu disampaikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dikutip dari kantor berita Antara, Senin (3/4).

Peneliti Ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin mengatakan setiap wilayah merespons perubahan iklim dengan berbeda-beda, sehingga parameter apa yang paling sensitif berubah dan daerah mana yang paling sensitif adalah yang harus dipetakan.

“Kami di BRIN melakukan kajian itu, sehingga pertama yang ingin kami lihat itu indikasinya kalau ada perubahan iklim, berarti ada perubahan pada pola musim dan pola cuaca, itu yang ingin kami deteksi, itu yang ingin kami kaji,” ujarnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta.

Selain perubahan musim yang telah terjadi di Indonesia selama dua dekade terakhir, lanjut Erma, indikasi perubahan iklim juga dapat ditunjukkan dengan pola cuaca yang mengalami perubahan, karena tak lagi sesuai dengan tipe-tipe cuaca berdasarkan musim.

Akibatnya, pola cuaca ekstrem pun berubah. Cuaca ekstrem ditunjukkan melalui frekuensi hujan ekstrem yang kerap terjadi di wilayah Indonesia, khususnya untuk wilayah Sumatera Selatan, Lampung, Jawa bagian barat dan tengah.

Baca juga:  Cuaca Ekstrem, ABK Diimbau Berada di Kapal

Sementara itu, untuk wilayah Jawa bagian timur, Lombok, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, hujan ekstrem meningkat selama musim kemarau.

Cuaca ekstrem mengalami eskalasi skala spasial yang semakin luas dan skala temporal yang lebih panjang, sehingga membangkitkan kejadian ekstrem di atmosfer membuat skala dampak yang ditimbulkan menjadi masif dan luas.

Menurut Erma, terdapat perbedaan antara cuaca ekstrem dan kejadian ekstrem. Cuaca ekstrem biasanya terjadi untuk skala yang lokal di suatu wilayah tertentu dan memiliki durasi kejadian yang singkat, kurang dari sejam atau maksimal sekitar dua hingga tiga jam.

Sementara itu, kejadian ekstrem secara waktu lebih lama, karena memiliki setidaknya dua ciri, yakni persisten atau bertahan lama dan sustain atau terus berlanjut.

Secara skala spasial pun lebih luas karena mengacu pada gangguan cuaca skala sinoptik dalam rentang skala spasial ratusan hingga ribuan kilometer.

Selan itu, dampak merusak dari suatu kejadian ekstrem bersifat katastropik atau massal, dapat menelan korban ratusan bahkan ribuan jiwa.

Baca juga:  BPBD Jatim Perbarui Data Korban Meninggal Dampak Gempa Malang

Kajian terbaru yang dilakukan oleh tim di BRIN menunjukkan bahwa kejadian ekstrem mengalami peningkatan, karena faktor-faktor penyebabnya semakin intensif terjadi di Indonesia.

Studi tersebut menjelaskan tentang mekanisme terbentuknya cikal bakal bibit Siklon Seroja yang tumbuh dari badai vorteks intensif selama 10 hari di perairan Banda, dan berlanjut terus menjadi siklon Seroja dan menelan korban 181 orang meninggal di Flores, NTT, pada 4 April 2021.

Mekanisme terbentuknya siklon Seroja ditunjukkan dalam studi dari tim di BRIN memiliki frekuensi selama dua tahun sekali. Hal ini cukup mengejutkan, karena studi sebelumnya mengonfirmasi peluang siklon terbentuk di dekat ekuator hanya 100 sampai 400 tahun sekali (Chang, 2003).

Kajian dari tim di BRIN tersebut sedang proses under review di jurnal internasional Natural Hazards berjudul: Evolution of Double Vortices Induced Seroja Tropical Cyclogenesis over Flores, Indonesia.

Lebih lanjut, Erma menyampaikan bahwa pada rentang waktu yang sangat panjang terhitung sejak tahun 1880 sampai 1979, suhu bumi tidak pernah mengalami anomali positif dengan tren yang terus meningkat.

Baca juga:  Jaring Investor Pariwisata, Kulon Progo Maksimalkan GIS

Anomali suhu global di atmosfer saat itu negatif atau mendingin dalam rentang waktu yang sangat lama. Baru tahun 1940 anomalinya berubah positif setelah itu negatif lagi, kemudian naik sedikit positif, lalu mendingin lagi. Kondisi itu dinamakan dengan Natural Variability Climate.

Sejak tahun 1980 sampai sekarang, kata Erma, para ilmuwan dunia memperhatikan bahwa peningkatan suhu yang naik sejak tahun tersebut tidak pernah turun lagi. Dari situlah para ilmuwan kemudian menemukan bahwa konsentrasi karbon dioksida menjadi jawaban atas tidak menurunnya temperatur global tersebut.

Sejak saat itu manusia tidak berada lagi pada ranah variabilitas iklim, melainkan ranah perubahan iklim. “Perkiraan pemanasan global sampai dengan Februari 2023 adalah 1,21 derajat Celsius dan karena kita ini sudah berada pada domain perubahan iklim, maka tidak akan pernah ada lagi penurunan dan itulah yang ingin diredam untuk memperlambat laju kenaikannya,” tutur Erma. (Kmb/Balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *