Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Sebuah tulisan menarik dari Widiyaningrum WY dalam jurnal Jisipol Uniba (Vol 4, Juli 2020) menyebutkan,
pendidikan politik diberikan untuk mengasah keterampilan politik kader sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan kepartaian maupun di lembaga legislatif sebagai wujud tanggung jawabnya kepada masyarakat, partai politik dan konstituen. Keterwakilan perempuan dalam parlemen di Indonesia tidak pernah melebihi angka 20 persen.

Jauh dari harapan kuota 30 persen keterwakilan perempuan sebagai salah satu langkah affirmative action untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan dan cara khusus untuk mencapai kesetaraan gender dalam berpolitik. Artinya, dimaksudkan bukan sekadar pemanis atau pelengkap, tapi untuk mendorong peran atau keterlibatan perempuan sehingga berkemampuan mempengaruhi
pengambilan kebijakan politik, bidang politik.

Kita pesiar ke belakang sebentar, coba kita lihat rata-rata keterwakilan perempuan dalam parlemen di sejumlah kawasan di dunia, seperti Skandinavia (24,25 persen), negara-negara di benua Amerika (24,15 persen), negara-negara Afrika dan Sub Sahara (21,7 persen), negara-negara di Asia (18,5 persen), negara-negara Pasifik dan Arab hanya menempati 15,9 persen.

Baca juga:  Mayadanawa dan Penista Agama

Jadi Perempuan hanya mengisi 21,3 persen dari total kursi parlemen di dunia. (Puskapol FISIP UI, 2017). Sementara ini keterwakilan perempuan di DPR-RI dari Pemilu 1999, yakni Tahun 1999 (8,8 persen), 2004 (11,82 persen), 2009 (17,86 persen), 2014 (17,32 persen). Berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan
perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI (KPU, 2019).

Walaupun masih belum mencapai target keterwakilan 30 persen perempuan, namun persentase ini meningkat
pesat dari Pemilu RI pertama yang persentase perempuannya hanya 5,88 persen. Diakui atau tidak diakui, menjadi kader perempuan apalagi di partai politik (parpol) bahkan yang mampu lolos di jalur legislatif itu tak gampang. Ada sejumlah tantangan
perempuan di Parpol, sekurangnya adanya beban peran ganda perempuan, seperti urusan dapur, Kasur, anak, pendidikan, bekerja atau berkarier, dll.

Sejatinya peluang sangat terbuka bagi perempuan di kursi parlemen. Hal ini karena turut disokong beberapa hal. Pertama, bonus demografi – Jumlah penduduk usia muda dan pemilih muda sangat besar – hampir 50 persen (LIPPI, 2019). Kedua, jumlah penduduk perempuan dan pemilih perempuan lebih besar dari penduduk dan pemilih laki-laki.

Baca juga:  Menyoal Piagam Palsu

Kementerian Dalam Negeri mencatat, warga negara yang memiliki hak suara tahun 2024 sebanyak 204.656.053 orang. Jumlah pemilih perempuan 102.474.462 jiwa, sedikit lebih banyak ketimbang pemilih laki-laki sebanyak 102.181.591 orang.

Ketiga, pemilih muda menyukai perubahan, pikiran
moderat, kepekaan terhadap isu-isu sosial, ekonomi, politik, dan hukum serta aktif di media sosial. Pemilih muda menyukai sosok kepemimpinan yang rasional, jujur, sederhana dan dekat dengan masyarakat kecil.

Menghapus Stempel

Tak kalah penting, yakni meningkatkan kapasitas diri termasuk hard skill dan life skill. Juga menguasi kemajuan teknologi dan informasi, seperti media sosial maupun strategi online/virtual lainnya. Jaman sekarang semua serba online : ojek online, bisnis online, beli
tiket online, webinar, dll. Penting lagi, kader perempuan mesti mampu membangun positioning (citra-branding) positif personal maupun parpol. Era digitalisasi, sudah seharusnya setiap kader perempuan memiliki media sosial untuk menyosialisasikan berbagai program kegiatan, informasi lain juga memberikan edukasi
politik kepada warga, misalnya.

Baca juga:  Periode 2019-2014, Jumlah "Srikandi" di DPRD Klungkung Bertambah

Lewat medsos ini kita bisa lebih dekat berkomunikasi, membuka kanal aduan atau komplain warga hingga
menemukan formula solusi bahkan mencapai aksi nyata menjawab kebutuhan masyarakat. Tak ada salahnya, kader perempuan mesti berkemampuan merubah image masyarakat, jangan sampai distigma parpol/calon yang tak peka, korup, plin-plan, gurem atau pembohong maupun stempel pelemahan lainnya (subordinat).

Maka, sekali lagi kader perempuan harus selalu melakukan rebranding, sekurangnya untuk merawat suara perempuan. Dengan demikian akan menghapus apriori masyarakat dan pada gilirannya bakal menambah trust masyarakat untuk mendukung dan mewakafkan suaranya di bilik coblosan dan yang paling
dekat di pesta demokrasi pilkada 2024.

Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *