I Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. (BP/kmb)

Oleh Kadek Suartaya

Kesenian Bali termasuk akrab dengan tuak. Tengoklah pada masa kejayaan Drama Gong sekitar tahun 1970-1990, adegan yang melukiskan keramaian pasar tradisional, selalu disertai dengan hadirnya pemain pria yang memerankan pedagang tuak.

Begitu pula jika kita menonton Dramatari Cupak yang sampai kini masih dapat disaksikan pementasannya, senantiasa dilengkapi adegan minum tuak atau arak, saat menggambarkan rakusnya tokoh Cupak menyantap seonggok babi guling. Mabuk karena berpesta miras ini juga dituturkan tontonan Wayang
Kulit Ramayana, ketika melukiskan kebrutalan
moral para raksasa antek-antek Rahwana.

Pun dari sumber epos Mahabharata, sejumlah seni
pertunjukan Bali kerap mengisahkan tentang keangkaramurkaan dengan regukan buih-buih arak dan tuak. Pada episode Adi Parwa, misalmya, berpoya tuak dan arak dicuatkan sebagai gambaran arogansi nyapa kadi aku dua asura bersaudara, Sunda dan Upasunda.

Bukan hanya di atas panggung seni pentas, buncah tuak juga dapat dipergoki nyata dalam kehidupan sehari-hari. Minum tuak sembari bersenda gurau dapat hadir di penggak dan warung, di rumah atau sudut suatu desa.
Cairan memabukkan dari tuak—juga arak dan brem–sejatinya memiliki posisi signifikan dalam ritual relegi-kultural masyarakat Hindu Bali.

Baca juga:  Politik Dinasti, Demokrasi atau Supremasi

Tuak dihadirkan secara takzim dalam sejumlah upacara keagamaan sebagai petabuh serangkaian kekhusukan persembahyangan memuja Hyang Widhi/Tuhan. Makna filosofis ketiga minuman yang bermuasal dari pohon
kelapa, enau dan tal itu berperan penting dalam ritual macaru, korban suci kepada bhutakala.

Tidak sedikit tema punyah alias mabuk dielaborasi dalam ekspresi seni, yang terhampar dalam seni klasik hingga seni modern. Simaklah salah satu repertoar tabuh gamelan gender wayang yang bertajuk “Cerucuk Punyah”. Kelincahan jalinan nada dari sebuah tabuh karawitan golongan tua ini melukiskan burung cerucuk
(pycnonotus goisvier) yang suaranya cempreng
tak menentu bak menggambarkan orang mabuk
miras.

Sementara itu dari musik masa kini, kebiasaan mabuk terdengar pada lagu pop Bali berjudul “Sing Punyah Sing Mulih” (Ayu Wiryastuti), 2014, dengan pengulangan lirik pada reff-nya sing punyah, bli sing mulih.

Bangsa Nusantara mewarisi beragam minuman tradisional beralkohol dengan kadar yang bervariasi. Sejumlah prasasti pada zaman Dyah Balitung (898-911) telah mencatat adanya ritual sajian tuak selain juga lazim dinikmati sambil menonton wayang, lawak dan topeng. Ditorehkan, minuman yang disadap dari pohon palem itu, secara umum disebut sajeng.

Baca juga:  Keluhuran Nilai “Traveling”

Kemudian pada zaman Majapahit seperti dimuat dalam teks Negarakertagama (1363 Masehi), dikenal adanya twak ayu dari pohon kelapa dan twak siwalan dari pohon tal. Tentang bagaimana proses pembuatan tuak di Ka-ling (merujuk wilayah Jawa) dimuat dalam berita
Tiongkok masa dinasti T’ang (618-907).

Sejarah pembuatan, konteks budaya dan tradisi minum tuak tersebut berkesinambungan hingga hari ini. Bulir-bulir cair dari sadapan pohon kelapa, jaka (enau), tal diproduksi sebagai mata pencaharian, diperdagangkan, difungsikan dalam ritual adat atau keagamaan dan teru￾tama direguk nikmat oleh para penggemar dan
pecandunya.

Di Bali, tuak banyak didatangkan dari belahan timur pulau. Di tanah Batak (Sumatera Utara), dihidangkan di lapo (kedai tuak) penduduk. Di tengah masyarakat Batak Toba, tuak disadap dari pohon enau atau aren (bagot, bahasa Batak) oleh para petani tuak. Pohon
aren atau enau sebagai penghasil tuak di tanah Batak dijunjung dengan sanggaan mitologi yang umumnya juga diusung di pulau Jawa dan Bali yaitu kisah Dewi Padi.

Baca juga:  Membedah Integritas Hukum

Ceritanya, ketika Dewi Sri meninggal karena diracun, dari mayatnya tumbuh berbagai tumbuh-tumbuhan yang berguna bagi umat manusia di bumi. Dari kemaluannya
tumbuh pohon aren. Pro dan kontra terhadap tuak–termasuk miras lainnya–centang perenang di tengah
masyarakat tempo dulu, dan juga kini dengan beragam objektivitas nalar ilmiah versus kepentingan sudut subjektivitasnya masing-masing.

Sisi pandang yang negatif terhadap miras, dituturkan pada misteri mangkatnya Raja Singasari, Kertanegara yang diduga mati ketika sedang minum tuak. Kitab Pararaton (1478-1486) memuat, bahwa Kertanegara dibunuh Jayakatwang saat “Sira Bhatara Siwa Buddha pijer anadhah sajeng”.

Tampaknya, pada masa kini, jagat seni kita tetap mewejangkan memetik saripatinya mabuk miras. Simaklah, misalnya, lagu “Tuak Adalah Nyawa” (2017) yang belakangan cukup populer. Lagu grup band dari Desa Sukawati itu berdendang riang dengan aksentuasi lirik tuak adalah nyawa.

Mendengar lirik itu, sepintas seperti ajakan minum tuak. Padahal jika dikupas keseluruhan lagunya, mereka justru mengumandangkan pesan moral agar jangan mabuk miras, arak atau tuak.

Penulis adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *