I Ketut Suparjana. (BP/Dokumen)

Oleh Ketut Suparjana

Sebenarnya pendidikan nasional telah melewati beberapa dekade, namun kualitas pendidikan selalu menjadi pertanyaan besar. Perlakuan peserta didik yang belum sepenuhnya merdeka telah mengalami tirani penjajahan oleh suatu kebijakan.

Hasil survei PISA sebagai tes untuk mengukur prestasi sekaligus evaluasi terkait kurikulum pendidikan yang
diterapkan lebih dari 80 negara di dunia menempatkan Indonesia urutan 74 untuk tes literasi, 73 untuk matematika, dan 71 untuk sains pada tahun 2018. Kondisi ini menunjukan pendidikan di Indonesia
secara umum masih belum berhasil membentuk
peserta didik melek bahasa dan angka, serta belum
memiliki daya nalar yang baik.

Bahkan di tingkat ASEAN hasil tes tersebut berada di bawah negara Malaysia dan Brunei Darussalam. Sebenarnya, perlakuan pendidikan nasional sudah mendapatkan prioritas dibandingkan dengan sektor lain.

Pemerintah juga mengalokasikan dana pendidikan yang sangat besar, yaitu minimal sebesar 20% dari APBN atau sebesar 608,3 triliun pada tahun 2023. Hampir setiap 10 tahun dilakukan implementasi kurikulum,
sejak tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984,
1994, 2004 (KBK), 2006 (KTSP), 2013 (K-13), dan kurikulum yang sedang diberlakukan sejak tahun 2021 adalah Kurikulum Merdeka.

Baca juga:  Sisi Gelap Bimbel

Kurikulum Merdeka mungkin menjadi jawaban atas kegelisahan kualitas pendidikan nasional yang masih rendah. Kurikulum tersebut diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada pendidik untuk menciptakan pembelajaran berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan belajar peserta didik.

Belenggu Merdeka Belajar

Pada tatanan konsep dan sasaran Kurikulum Merdeka tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan kurikulum sebelumnya, yaitu menyasar ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik, namun pada tatanan implementasi Kurikulum Merdeka belum memberikan merdeka belajar bagi peserta didik. Sehubungan dengan hal tersebut, diduga faktor penyebab pembelajaran yang belum mengakomodasi bakat peserta didik sesuai dengan merdeka belajar disebabkan oleh: 1) terdapat kerancuan dengan istilah merdeka, hal ini menjadi perdebatan dan keragu-raguan antara memberikan kebebasan memilih kelompok mata pelajaran yang disukai dengan tuntutan laporan hasil belajar peserta didik; 2) sistem klasikal menjadikan peserta didik harus bersama-sama belajar dengan keinginan berbeda-beda dalam kelas yang gemuk; 3) sekolah belum memiliki seorang psikolog untuk membantu menelusuri bakat dan minat peserta didik; dan 4) masih ada ego mata pelajaran, guru harus mendapatkan 24 jam mengajar untuk mendapatkan TPG.

Baca juga:  Harapan Baru Layanan Pendidikan

Kenyataan, pemenuhan delapan standar pendidikan pada satuan pendidikan belum terpenuhi dapat disebabkan oleh: 1) pelaporan satuan pendidikan yang kurang transparan terkait dengan fasilitas sekolah; 2) pemerintah belum mampu membiayai seluruh sekolah di seluruh Indonesia; dan 3) partisipasi masyarakat terbatas dalam pemenuhan kebutuhan sekolah.

Kondisi yang demikian memberikan dampak negatif bagi pelaksanaan merdeka belajar, seperti: 1) timbul
sikap kecewa pada peserta didik karena harapan dan kemampuan tidak sesuai; 2) menimbulkan kebingungan pada pendidik karena belum paham sepenuhnya tentang merdeka belajar; 3) timbul sikap jenuh karena pembelajaran monotun; 3) pembelajaran menjadi kurang bermakna dan menjadi beban bagi peserta didik yang tidak berbakat dalam mata pelajaran tertentu; 4) prestasi belajar rendah menumbuhkan sikap rendah hati; 5) ancaman drop out.

Selanjutnya, SNP yang timpang menjadikan: 1) masyarakat dan peserta didik cenderung memilih sekolah yang SNP baik sehingga menimbulkan sekolah favorit dan nonfavorit. Ada satu sekolah yang gemuk, tetapi ada juga sekolah yang jumlah siswa di bawah 50 orang.

Baca juga:  Fenomena "Ulah Pati"

Memperhatikan masalah dan dampak yang ditimbulkan, alternatif pemecahan masalah agar ekosistem sekolah sungguh-sungguh merasakan merdeka belajar. Pertama, pembelajaran berdiferensiasi penuh dengan penyederhanaan struktur dan muatan kurikulum. Kedua, model kurikulum dibuat secara utuh. Pemerintah harus menyediakan suatu model kurikulum yang lengkap, yaitu kurikulum yang mengambarkan turunan dan kelengkapan, seperti konektivitas kurikulum dengan silabus, RPP, P5, penilaian, sehingga satuan pendidikan
dapat melihat dengan jelas keterkaitan kegiatan
intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.

Hal ini disebabkan oleh satuan pendidikan tidak memiliki ahli kurikulum dan pemahaman tentang kurikulum masih terbatas, sehingga melahirkan
kurikulum yang terbatas pula. Ketiga, SNP dipenuhi, seperti pemenuhan tenaga pendidik dan kependidikan, sekolah dilengkapi sesuai standar kelengkapan sekolah, seperti ruang kelas, perpustakaan, lab IPA, Komputer, dan wifi.

Penulis, Guru SMP Negeri 3 Rendang

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *