Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Evaluasi dan restorasi perlu dilakukan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar lembaga ini tidak semakin melapuk. Tak terasa usia, usia Orde Reformasi kita tahun ini genap 25 tahun. Salah satu motor penting reformasi adalah mahasiswa. Mungkin sebagian dari kita masih ingat bagaimana para mahasiswa, disokong oleh para aktivis dan kelompok-kelompok pro-demokrasi dari seluruh Indonesia, berkumpul dan menduduki gedung MPR/DPR RI di Jakarta pada pertengahan Mei 1998.

Mereka secara kompak waktu itu menyerukan tuntutan rakyat — yang kemudian dikenal dengan sebutan Tritura Reformasi — yakni: [1] turunkan harga sembilan bahan pokok; [2] hapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme; [3] turunkan Soeharto dari kursi kepresidenan.

Boleh dibilang segenap cita-cita reformasi yang kita usung tampaknya masih belum mewujud sepenuhnya. Pasalnya, korupsi hingga hari ini masih meraja lela. Penegakan hukum masih carut marut. Perekonomian kita juga masih belum kinclong. Kesenjangan sosial masih mencolok. Kini, setelah seperempat abad kita berada di Orde Reformasi, justru berembus pula kabar kurang sedap terkait keberadaan sejumlah lembaga yang dibentuk pasca reformasi. Salah satunya yaitu KPK. Berdasarkan survei longintudinal periode 2015-2023, persepsi publik terhadap KPK ternyata terus menurun. Saat ini, kepercayaan publik terhadap KPK hanya sekitar 52,1 persen. Padahal, lembaga antirasuah ini sempat memiliki angka kepercayaan publik paling tinggi di negeri ini, yakni hingga 88,5 persen.

Baca juga:  Likuifaksi dan Tata Ruang Wilayah Bali

Anjlognya kepercayaan publik terhadap KPK tentu saja patut menjadi keprihatinan kita semua. Beberapa kalangan menilai citra KPK yang kian melorot sekarang ini memberi sinyal nyata ihwal adanya apa yang disebut sebagai pelapukan institusi [institutional decay]. Seperti halnya sel-sel di tubuh kita, sebuah institusi atau lembaga memang bisa melapuk. Lembaga yang melapuk ditandai antara lain dengan makin menumpuknya aneka persoalan dan kian tidak berfungsinya secara efektif lembaga itu, yang pada gilirannya menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga bersangkutan.

Menilik sejarah, pendirian KPK tidak dapat dipisahkan dari semangat reformasi dan keinginan besar bangsa ini untuk menyelamatkan ruh demokrasi. Pasalnya, sudah sejak lama sebagian penyelenggara negara ini ternyata cenderung menyuarakan, memikirkan, dan memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok mereka lewat cara-cara koruptif. Negara kita pun menjelma sebagai salah satu negara paling koruptif di dunia. Virus korupsi merajalela menyusup ke berbagai sendi kehidupan di negeri ini. Praktik korupsi pun telah benar-benar menjadi budaya dan bagian yang tidak terpisahkan dari perilaku bangsa, dalam level apa pun.

Selain menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga merongrong fondasi tata kelola pemerintahan yang baik. Inti dari tata kelola pemerintahan yang baik adalah adanya layanan publik yang andal dan terpercaya. Praktik korupsi meniadakan keduanya. Karenanya, dalam konteks penyelenggaraan kehidupan bernegara di negeri ini, jangan heran pula kalau sebagian kalangan lantas lebih suka memelesetkan konsep trias politika yang kita anut menjadi trias koruptika lantaran kinerja yang semakin buruk yang ditampilkan oleh ketiga cabang kekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Baca juga:  Mardani Maming Divonis Bersalah, Posisi Bendum PBNU Nonaktif Dipertanyakan

Buntutnya, demokrasi menjadi identik dengan transaksi kepentingan jangka pendek dan bukan proses jangka panjang yang menyejahterakan dan membahagiakan rakyat.Tatkala praktik demokrasi hanya membawa perubahan besar kepada segelintir masyarakat, bisa jadi yang sesungguhnya terjadi adalah praktik kleptokrasi. Kasarnya, kleptokrasi adalah kekuasaan berada di tangan para pencuri. Dengan demikian, para pencuri menguasai negara. Ciri menonjol kleptokrasi adalah praktik korupsi merajalela dan dilakukan secara terorganisir dan sistematis. Praktik korupsi ini dilakukan terutama oleh para pejabat negara, aparat birokrasi, dan anggota parlemen.

Dalam hal berdirinya KPK, sudah barang tentu, kelompok kleptokratlah yang paling terancam oleh keberadaan lembaga ini. Karenanya, setiap ada peluang sekecil apa pun pasti bakal mereka pergunakan untuk melumpuhkan dan — jika mungkin — melenyapkan KPK. Di awal-awal berdirinya, KPK sempat menjadi lembaga yang paling menonjol dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Bahkan, publik pun jauh lebih mempercayai KPK ketimbang lembaga-lembaga lainnya. Survei-survei yang pernah dilakukan terkait keberadaan KPK menempatkan KPK sebagai lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan publik paling tinggi, hingga mencapai 88,5 persen.

Baca juga:  Medical Tourism Versus Cultural Tourism Bali

Sebagai sebuah lembaga ad hoc, keberadaan KPK memang bisa saja tidak diperlukan lagi tatkala lembaga penegak hukum kita yaitu kejaksaan dan kepolisian dapat benar-benar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Namun, kita sulit memprediksi kapan persisnya kondisi penegakan hukum ideal itu dapat terwujud. Apakah ada jaminan setelah sepuluh atau duapuluh tahun mendatang kinerja kejaksaan dan kepolisian benar-benar prima dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi? Bagaimana jika yang terjadi justru malah sebaliknya. Yang jelas, hingga hari ini korupsi masih menjadi persoalan dan PR besar bagi bangsa ini. Dengan anjloknya kepercayaan publik terhadap KPK, maka tugas pemberantasan korupsi yang diemban KPK menjadi kian berat. Evaluasi dan restorasi agaknya perlu dilakukan untuk mencegah agar KPK tidak semakin melapuk dan citranya di mata publik kian melorot. Inilah salah satu tugas yang telah menanti jajaran pemerintahan terpilih lewat pemilu tahun depan.

Penulis, kolumnis dan bloger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *