Oleh I Kadek Darsika Aryanta
Jargon Merdeka belajar tiba-tiba menjadi ngetren dalam dunia pendidikan selama 4 tahun ini. Jargon ini dipopulerkan oleh Menteri Pendidikan yang dipercaya oleh Presiden yaitu Nadiem Makarim. Sampai saat ini (maret 2024) sudah terdapat 24 episode Merdeka Belajar yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan kita.
Episode-episode merdeka belajar ini menujukan jumlah terobosan yang di luncurkan oleh Menteri pendidikan kita. Selama empat tahun belakangan ini, merdeka belajar dijadikan sebagai landasan filosofis dalam pelaksanaan program-program di kementrian pendidikan.
Transformasi program-program ini satu-persatu memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan. Dalam tataran inovasi, merdeka belajar lahir dari sebuah kegentingan terhadap fenomena aksiologis dan sistematis yang sudah bertahun-tahun melekat bagai benalu dalam dunia pendidikan. Kegentingan muncul manakala harapan dan kenyataan dalam pendidikan tidak seiring sejalan.
Program merdeka belajar ibarat obat yang diharapkan mampu menyembuhkan berbagai penyakit pendidikan yang kronis.
Pelaksanaan pendidikan yang merdeka dimulai dari revisi Standar Nasional Pendidikan (SNP) menjadi lebih longgar dan fleksibel untuk mengakomodasi keragaman konteks. Sehingga sekolah bisa menjadi lebih leluasa dalam mengembangkan pelaksanaan pendidikan fleksibel namun sesuai dengan standar.
Pendidikan yang merdeka sudah selayaknya mendorong pembelajaran yang holistik, lebih relevan dan lebih bermakna. Jangan sampai pendidikan dijadikan sebagai alat hanya untuk menghapal dan keterampilan mekanistik saja. Pada penekanan kurikulum merdeka lebih mengedepankan pada materi esensial untuk memberi kesempatan kepada guru dan siswa belajar secara mendalam (deep learning).
Pada pendidikan kurikulum merdeka, pembelajaran didesain dalam “fase belajar siswa” (bukan tingkatan kelas), hal ini digunakan untuk menekankan pada ketuntasan belajar siswa, bukan ketuntasan kurikulum karena orientasinya adalah kompetensi siswa, bukan pada ketercapaian kurikulum. Hal yang lebih menarik lagi adalah adanya penerapan penguatan projek profil pelajar Pancasila (P5). Penerapan project learning ini untuk mendukung praktik pembelajaran yang lebih holistik yang berfokus pada penguatan karakter profil pelajar pancasila, lebih relevan dan lebih bermakna melalui ”real world problem”
Dari sisi pembelajaran di kelas, kurikulum ini mampu memberikan ”kemerdekaan” kepada guru untuk menerapkan strategi pembelajarannya, sesuai konteks dan kebutuhan. Guru tidak dipatok dengan model pembelajaran tertentu. Tetapi lebih dimerdekakan sesuai dengan konteks di sekolah dan juga kebutuhan siswa.
Untuk menyokong pelaksanaan kurikulum merdeka, disediakan juga platform merdeka mengajar (PMM) untuk memberikan pertolongan kepada guru yang membutuhkan. Platform ini penting sebagai media pembelajaran guru sekaligus juga pengembangan profesi guru dalam mencari pemahaman baru mengenai kurikulum merdeka.
Lahirnya pendidikan merdeka belajar dilatarbelakangi oleh urgensi transformasi pembelajaran dimana terjadi disrupsi dan kebutuhan kompetensi generasi muda di masa depan. Gencarnya revolusi industry 4.0 yang dicirikan dengan konvergensi IT, IOT, big data, robot yang canggih, dan mesin otonom menyebabkan disrupsi terus menjadi dipercepat.
Dampak dari revolusi industri 4.0 ini adalah meningkatnya kebutuhan dunia kerja akan keterampilan berpikir aras tinggi. Dalam kurun hampir setengah abad, terdapat tren penurunan permintaan tenaga kerja untuk pekerjaan manual dan rutin. Semua serba di otomatisasi. Pada kondisi yang sebaliknya, terjadi juga peningkatan secara konstan permintaan tenaga kerja untuk pekerjaan non rutin yang membutuhkan kemampuan interpersonal dan analitis.
Selain itu tindakan kelas yang dilakukan guru selama ini bukan dilakukan sebagai feedback untuk perbaikan pembelajaran, tetapi sekedar sebagai syarat angka kredit saja. Menelisik lebih jauh lagi di kelas, pembelajaran yang dilakukan oleh guru dilakukan sekedar taat aturan-aturan administratif dan bahkan membangun tirani berpikir, bukan proses yang memerdekakan siswa.
Selayaknya obat pada umumnya, sudah tentu memiliki efek samping yang perlu diminimalisir, bahkan keefektifan obat pun seharusnya diuji dalam waktu tertentu. Efek samping yang timbul sudah tentu berasal dari dalam tubuh pendidikan itu sendiri. Banyak hal yang sudah kadung nyaman dalam kondisi sebelumnya tiba-tiba berubah secara mendasar.
Efek dari program merdeka mengajar ini bisa kita lihat dari perubahan struktur organisasi, perubahan pola kepelatihan guru, perubahan manajemen organisasi pelaksanaan tata kelola guru, dan sudah tentu yang ngetren adalah perubahan asesmen kepada peserta didik.
Sejak diluncurkan sampai saat ini, tidak sedikit ditemui beberapa mispersepsi mengenai kurikulum merdeka. Mispersepsi ini terjadi akibat dari rendahnya literasi para insan pendidikan dan juga geografis Indonesia yang sangat luas sehingga menyebabkan distorsi informasi menjadi sangat tinggi. Salah satu contoh mispersepsi kurikulum merdeka adalah anggapan bahwa kurikulum merdeka wajib diimplementasikan di sekolah dan sekolah penggerak adalah sekolah yang unggulan.
Mispersepsi ini masih terjadi di level tataran dinas sampai di satuan pendidikan. Tak hayal, penerapan pendidikan yang memerdekakan sampai saat ini masih “seumur jagung” perlu untuk di sosialisasikan secara terus menerus. Banyak hal yang diharapkan bisa mengobati luka kekakuan pendidikan kita di zaman dahulu namun di satu sisi karena saking lamanya pendidikan kita yang bercokol pada hal-hal yang terbelenggu kadang kala diberikan kemerdekaan insan pendidikan kita masih belum begitu banyak yang memahami. Sosialisasi dari seluruh kompoenen pendidikan penting dilakukan untuk terus memasyarakatkan pendidikan merdeka menuju masyarakat yang terdidik dan merdeka.
Penulis, Fasilitator Sekolah Penggerak Kemendikbud, Guru Fisika, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum