I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa, S.Pd., M.Pd. (BP/Istimewa)

Oleh I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa, S.Pd., M.Pd.

Pascaberakhirnya pandemi Covid-19, gaung “merdeka mengajar” semakin kencang dihembuskan Kemdikbudristek untuk mengakselerasi learning loss dan learning gap yang terjadi di dunia Pendidikan. Kesenjangan dan ketertinggalan tidak hanya terjadi di level nasional, namun multinasional (seluruh dunia).

Menarik jika menyimak kontradiksi yang timbul, bahwa di masa pandemi justru penggunaan IT dalam pembelajaran meningkat tajam, dan berubah arah pasca pandemi yang kecenderungannya penggunaan IT kembali turun. Padahal dalam era digital, IT adalah pembantu utama insan pendidik untuk mempercepat pemulihan kualitas pembelajaran.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka sulit mengejar ketertinggalan kita dalam bidang pendidikan. Kita perlu terus menjaga lompatan-lompatan untuk memastikan peserta didik memperoleh hak-haknya menerima pembelajaran yang bermutu.

Dalam zona nyaman pendidikan, ada mispersepsi yang timbul apabila tidak memahami mindset “merdeka” secara utuh. Merdeka dianggap identik dengan kebebasan, namun merdeka yang diharapkan tentu yang meroket ke arah kemajuan. Pemerintah terus mendorong bahwa dengan merdeka mengajar, guru semakin ulet belajar dan menerapkan ilmu yang dipelajarinya bagi peserta didik.

Diluncurkannya Platform Merdeka Mengajar (PMM) oleh Kemdikbudristek menjadi tonggak kokoh dukungan pemerintah dalam merdeka mengajar. Aplikasi ini tidak hanya memuat bahan bacaan, namun juga bersifat update, interaktif, dan kolaboratif. Salah satu syarat minimum untuk mempelajarinya hanyalah kemauan untuk belajar serta memiliki smartphone (yang saat ini harganya terjangkau).

Baca juga:  Kompetensi Wajib Kepala Sekolah

Masih teringat jelas ketika mantan Mendikbud Anies Baswedan berkata, “ketika seorang guru berhenti belajar, maka ketika itu juga dia berhenti sebagai pendidik”. Dalil ini berlaku umum bagi guru tidak hanya di seluruh Indonesia, tapi dunia. Apalagi komitmen pemerintah untuk memfasilitasi guru dalam belajar terus berlanjut melalui PMM ini. Jadi, guru seharusnya semakin berkurang bebannya terhadap hal-hal administratif, serta lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang produktif untuk meningkatkan profesionalismenya.

Kabar asyiknya, dalam PMM tersedia perangkat ajar yang diterapkan di seluruh kelas/jenjang dari PAUD, SD, SMP, hingga SMA/SMK. Perangkat ini merupakan sharing pengalaman yang dilakukan oleh guru-guru baik dari sekolah penggerak, guru penggerak, maupun guru inovatif yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.

Informasi ini bisa dijadikan acuan untuk meng-ATM (amati-tiru-modifikasi), maupun meng-AKI (amati-kreasi-inovasi), sehingga semakin memperkaya kemerdekaan dalam mengajar. Mengingat merdeka mengajar bukanlah meniru hal yang dibuat oleh guru lain, namun minimal memodifikasi sesuai dengan kondisi/karakteristik siswa serta orang tua dan lingkungan masyarakat.

Baca juga:  Ekosistem Pendidikan Pascapandemi

Tidak hanya perangkat mengajar, dalam PMM juga tersedia instrumen untuk melakukan asesmen kepada peserta didik, membuat kelas interaktif, membentuk komunitas belajar, serta mengunggah video/media pembelajaran buatan sendiri (yang melalui proses kurasi/evaluasi dari admin PMM). Asesmen bisa dilakukan melalui kuis yang tersedia pada platform PMM, sehingga guru bisa memberi penilaian dengan sistem otomatisasi. Ini mempermudah tugas guru, sehingga bisa mengalihkan energi untuk menyusun strategi yang lebih berdampak untuk kepentingan belajar peserta didik.

Pada menu membuat kelas interaktif pada PMM juga tidak kalah serunya karena guru dan peserta didik ikut terlibat aktif menguasai teknologi. Hal yang paling memerdekakan, guru juga bisa belajar secara mandiri melalui menu pelatihan mandiri.

Guru tidak harus menyelesaikan satu topik materi bersama-sama dengan guru lainnya, namun sesuai dengan kemampuan guru. Topik juga tidak harus diselesaikan pada hari yang sama. Inilah esensi merdeka yang sesungguhnya, materi yang ada dalam pelatihan tidak itu-itu saja, terus beranak dan berkembang. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang setiap saat, jadi menggunakan PMM mendorong guru merasa kehausan akan ilmu.

Baca juga:  Legong adalah Sukawati

Ada juga berbagai praktik baik (best practice) yang dilakukan oleh para guru, bisa dijadikan inspirasi untuk diterapkan kepada peserta didik. Praktik baik tidak hanya seputar intrakurikuler tetapi juga contoh-contoh penerapan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Sesungguhnya materi-materi dalam aplikasi ini merupakan dari guru, oleh guru dan untuk guru.

PMM memberi ruang bagi kita untuk terus memperkaya diri sendiri akan inovasi-inovasi, selanjutnya memperkaya pengalaman siswa untuk mewujudkan belajar yang bermakna. Fasilitasi pemerintah dengan hadirnya PMM menjadi bukti keseriusan negara untuk mendorong guru terus belajar dan memberikan pelayanan terbaik untuk peserta didik.

Di samping peningkatan kesejahteraan guru yang kini mulai terjamin dengan adanya PPPK guru dan sertifikasi guru. Kini saatnya pembuktian, apakah kita masih layak sebagai guru di era disrupsi dan digital ini?

Penulis, Kepala SD No. 2 Penarungan, Kabupaten Badung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *