Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Bima, Arjuna, Gatotkaca dan sejumlah hero lainnya diusung sebagai teladan oleh para penonton seni pertunjukan Wayang Kulit. Presiden Sukarno yang
mengidolakan tokoh “balung kawat tulang besi” Gatotkaca, misalnya –saat berpidato mengobarkan semangat rakyat–sering berucap lantang “Ini dadaku,
mana dadamu!?” bagaikan putra Bima tersebut.

Sementara itu, Bima, si tokoh perkasa dan kuat Pandawa itu sendiri, bahkan dikagumi oleh kalangan anak-anak hingga penonton dewasa. Para penonton wayang bergirang ketika Bima mencabik-cabik beringas saat menewaskan si begajul Dursasana di medan Kurusetra. Demikian pula Arjuna yang masyur dalam laga dahyat versus Karna, menempatkannya sebagai teladan gemilang yang ketampanannya digandrungi kaum wanita.

Akan tetapi kenapa tokoh dharma Pandawa yang welas asih arif bijaksana, Yudistira, tak begitu memperoleh keseruan dari decak penonton? Epos Mahabharata yang menjadi sumber pokok seni pertunjukan wayang, kurang begitu tampak menunjukkan Yudistira–beralias Puntadewa, Dharmawangsa, Samiaji dan sekian sebutan luhur lainnya–dalam ingar bingar dramatis peperangan yang emosional.

Figur protagonis ini lebih dihadirkan dalam posisi tenang-ideal. Putra Prabu Pandu dan Dewi Kunti yang pendiam dan tidak banyak bicara ini adalah satria berkarakter ikhlas dan adil. Sulung Pandawa ini selalu tampil apa adanya. Selain menjunjung kejujuran, Yudistira dikenal sabar dalam menghadapi cobaan hidup serta mampu memenjarakan kesabaran dengan berserah diri.

Baca juga:  Membangun Akuntabilitas Saat Pandemi

Mungkin karena budi agungnya itu, dalam pengejawantahannya pada Wayang Kulit (Jawa dan Bali), dilukiskan begitu polos dan sederhana, prilakunya lembut dengan tutur kata yang rendah hati menyejukkan. Di mata penonton wayang pada umumnya, suami Dewi Drupadi itu, dilukiskan oleh para Dalang secara datar, monoton bahkan membosankan, yang, sering dicerca sebagai raja yang lemah oleh Korawa.

Keberhasilan Yudistira membangun Kerajaan Indraprasta (Amerta) nan megah, kian meracuni borok iri dengki para Korawa membusuk berbelatung. Bahkan Duryadana cs. terus menerus menebar fitnah, mengajak kerajaan-kerajaan lainnya bersekongkol memusuhi Yudistira dan adik-adiknya, para Pandawa.

Sebuah lakon pertunjukan Wayang Kulit Bali bertajuk “Dharma Dewa” yang disajikan I Ketut Madra (almarhum)–seorang Dalang masyur tahun 1970-an dari Desa Sukawati, Gianyar–mengisahkan begitu konprehensif dan representatif bagaimana Yudistira, seorang Dewaraja (rajanya para raja) dihina dan dicaci maki, dinista, digugat serta dilecehkan sebagai pemimpin yang tidak becus.

Baca juga:  Pendidik Adaptif dan Produktif

Kendatipun dokumentasi sajian wayang ini direkam 9leh Bali Record pada tahun 1975, akan tetapi pesan moralnya sungguh kontekstual kekinian. Syahdan, pada suatu hari, tiba-tiba datang tamu tak diundang ingin bersua dengan Prabu Yudistira. Tamu perlente berpakaian serba mewah itu memperkenalkan dirinya adalah seorang raja dari Mentara Buana bernama Dharma Dewa.

Tanpa banyak basa-basi, Dharma Dewa meminta kepada Yudistira turun dari tahtanya dan akan digantikan oleh dirinya. Yudistira menanggapi permintaan tamunya dengan santun dan mengatakan bahwa dirinya menjadi raja sah atas pilihan rakyat.

Jawaban Yudistira ini membuat Darma Dewa dongkol dan murka. Cercaan pun berhamburan dari mulut Dharma Dewa yang mendaku dirinya paling pantas menggantikan Yudistira.

Kesenian Wayang Kulit yang pada tahun 2003 telah diakui Unesco sebagai Warisan Budaya Agung Dunia adalah jagat bayang-bayang kehidupan, cermin tempat berkaca dalam wujud keindahan tontonan yang sarat tuntunan. Walau lakon “Dharma Dewa” merupakan sebuah tu￾turan carangan, tapi amanat dan spirit moralnya mengacu pada saripati cerita Mahabharata.

Baca juga:  Tolok Ukur Kesuksesan?

Raja Dharma Dewa tiada lain adalah Dewa Dharma
yang menyamar untuk menguji kesungguhan dan
ketulusan Yudistira dalam mengabdikan diri pada
kepentingan rakyat. Sebagai Dharmawangsa (keturunan dharma), Yudistira (pandai memerangi nafsu pribadi)
adalah satria panutan yang disegani dan dihormati para pemimpin penjuru jagat.

Sebaliknya, dirinya pun senantiasa mempersembahkan respek baktinya. Kepada para sesepuh Astina seperti
Bhisma, Krepa, Drona, dan Dretarastra, misalnya, Yudistira menghaturkan hormat tinggi. Bahkan bila harus terjebak kehilangan tahta, harta, dan keluarga yang dipertaruhkan dalam permainan dadu atas undangan Prabu Dretarastra, Yudistira melakoni serta menerimanya sebagai wujud dharma satria.

Sungguh, Yudistira dapat diteladani sebagai figur pemimpin yang sempurna dalam sebersit ketidaksempurnaanya. Akan tetapi, kini, di tengah tantangan disorientasi kultural, jagat wayang dengan keteladanan tokoh-tokohnya terdistorsi, hampir kehilangan karisma, termasuk pada tokoh Yudistira. Imbasnya, disrupsi etika moral pun menyeringai empirik. Tengoklah, di sekitar kita. Keadaban dan kearifbijaksanaan yang dilakoni pemimpin bangsa dan negara ala Yudistira, malahan sering dirundung dan di-bully secara brutal.

Penulis adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *