Oleh Agung Kresna
Saat ini Indonesia tergolong sebagai negara yang belum mampu menghasilkan inovasi dari riset/penelitian dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Data Global Innovation Index tahun 2021 menunjukkan Indonesia berada di peringkat 87 dari 132 negara di dunia.
Global Innovation Index merupakan pemeringkatan yang
dibuat oleh The World Intellectual Property Organization (WIPO), guna menilai input dan output inovasi suatu negara dengan menggunakan 81 indikator yang berbeda. Harus diakui bahwa riset memang merupakan
salah satu penopang ekonomi dan daya saing bangsa.
Riset akan mendorong pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi. Riset juga akan menciptakan penemuan baru yang dapat membantu pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan, memberikan solusi masalah yang dihadapi masyarakat, serta menciptakan peluang baru di berbagai bidang.
Ekosistem riset di Indonesia memang masih harus terus diperkuat. Penguatan ini dimaksudkan sebagai upaya mendorong inovasi yang masih menghadapi banyak tantangan. Masih dibutuhkan kolaborasi yang semakin
kuat antara pemerintah dengan dunia usaha dan industri.
Kolaborasi ini diharapkan dapat memacu peningkatan inovasi bagi kemajuan bangsa. Saat ini Kemendikbudristek telah mencoba terobosan dalam mendukung kolaborasi dan pendanaan riset melalui program bertajuk Kedaireka. Program ini melibatkan
insan perguruan tinggi dan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI), utamanya melalui Matching Fund– Kedaireka. Sehingga diharapkan tidak ada masalah dengan pendanaan riset.
Program ini memiliki misi untuk mengakselerasi kolaborasi strategis dan menjawab tantangan dan kebutuhan di dunia industri dalam memperoleh solusi yang berbasis riset. Sekaligus mewujudkan kolaborasi
inovasi antara perguruan tinggi dan industri. Diharapkan dalam setiap pengambilan kebijakan publik akan selalu berbasis riset.
Dunia riset/penelitian di perguruan tinggi sendiri saat ini sedang mengalami krisis. Utamanya setelah terungkap adanya jasa joki penelitian yang dipaparkan melalui jurnalisme investigasi pada sebuah surat kabar harian nasional di negeri ini.
Kejadian yang dilaporkan itu, merambah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Pada satu sisi riset/penelitian merupakan bagian penting dalam dunia pendidikan, khususnya di pendidikan tinggi. Sementara di sisi lain banyak dosen menganggap diri mereka sudah senior, dan enggan untuk riset serta belajar menulis. Ketika jenjang gelar sudah mereka miliki, banyak yang merasa bahwa riset bukan menjadi urusan mereka lagi.
Bagi mereka, menjadi dosen atau bergelar tertentu, cukuplah hanya mengajar. Mereka yang bergelar Doktor (S3), apalagi yang tidak bekerja sebagai dosen, tidak lagi melakukan riset dan penulisan ilmiah. Kinerja dosen
dalam menghasilkan karya ilmiahpun tidak pernah ditelusuri.
Penilaian kepada dosen hanya saat karya ilmiahnya dipublikasikan. Situasi ini tentu menimbulkan ketidakmampuan dosen dalam mengelola tulisan
para mahasiswanya. Banyak dosen hanya memeriksa kesalahan penulisan, tata kelola, dan lain-lain, yang tidak terkait dengan kualitas tulisannya.
Dosen tanpa kemampuan menulis tentu saja tidak bisa mengarahkan mahasiswa untuk menulis karya ilmiah yang baik. Bagi dunia pendidikan tinggi di Bali yang memiliki sekitar 63 perguruan tinggi dengan 7085 tenaga dosen (Bali Dalam Angka 2023, BPS Bali), tentu merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menjaga marwah pendidikan tinggi. Berapa banyak jumlah hasil riset dan tulisan ilmiah yang dihasilkan oleh 7.000-an dosen tersebut dalam kurun waktu satu tahun?
Kemampuan menulis juga jarang menjadi salah satu bagian dari proses seleksi calon dosen. Jarang dilakukan uji kompetensi kemampuan riset dan menulis terhadap para calon dosen. Lebih sering diutamakan
kemampuan mengajar. Mereka juga hanya menjalani seleksi administrasi, seleksi psikotes, wawancara; tanpa pernah diukur kemampuan risetnya.
Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.