Oleh Agung Kresna
Infrastruktur kebudayaan kita saat ini masih jauh dari memadai. Apalagi dalam hal menghasilkan nilai sosial-budaya yang memberi kontribusi pada perekonomian. Investasi yang komprehensif memang memerlukan kerja keras semua stakeholders. Situasi ini juga dipicu oleh terbatasnya sarana-prasarana, maupun SDM yang dimiliki infrastruktur kebudayaan kita.
Berbagai potret masalah tata kelola infrastruktur kebudayaan –seperti museum, taman budaya, gedung pertunjukan- memberi gambaran dikotomi antara masalah fasilitas kebudayaan dengan masalah ekonomi. Pembangunan dalam bidang infrastruktur kebudayaan memang membutuhkan anggaran biaya yang tidak sedikit.
Berbeda dengan infrastruktur perekonomian seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, bendungan, dll. Semua ini untuk menunjang kegiatan perekonomian yang nantinya akan berkontribusi pada pendapatan negara. Dalam hal ini ada perhitungan pengembalian investasi (Return on Investment/ROI) yang akan diperoleh secara tidak langsung dalam jangka panjang. Meski demikian, dalam investasi infrastruktur fasilitas publik yang menggunakan dana publik, perhitungan ROI nya berbeda dengan perhitungan ROI usaha swasta. Hal ini mengingat adanya dampak sosial-budaya dalam investasi tersebut. Sehingga harus ada perhitungan Social Return on Investment (SROI) dan Cultural Return on Investment (CROI).
Sebagaimana dapat terlihat dari fungsi infrastruktur fasilitas publik tersebut, pada bandara, pelabuhan, dan jalan; selain dimanfaatkan oleh para pelaku ekonomi juga ada fungsi dilewati ambulans orang sakit, membawa rombongan mahasiswa dalam rangka pengabdian masyarakat, Atau bisa juga dimanfaatkan rombongan muhibah pentas kebudayaan internasional. Semua itu sudah semestinya diperhitungkan dalam pengembalian investasi infrastruktur. Sehingga kita harus membedakan antara keuntungan (profit) dengan manfaat (benefit). Bisa saja terjadi adanya investasi infrastruktur yang lambat menghasilkan keuntungan secara finansial, namun justru membawa manfaat sosial-budaya secara cepat.
Dalam kajian ekonomi, sudah banyak rumusan guna melakukan konversi SROI dan CROI secara finansial. Perhitungan tersebut harus menjadi bagian dalam pembuatan kebijakan pembangunan/investasi infrastruktur kebudayaan.
Apalagi saat ini infrastruktur kebudayaan kita banyak yang memerlukan dana yang tidak sedikit untuk revitalisasi. Saat ini krama Bali sudah dapat merasakan manfaat sosial-budaya dari hasil revitalisasi yang telah dilakukan terhadap Pura Agung Besakih. Bisa jadi dana milyaran rupiah yang telah digelontorkan dalam revitalisasi tersebut, baru dapat kembali dalam waktu puluhan tahun yang akan datang, jika hanya memperhitungkan pemasukan dari hasil retribusi di sana.
Sehingga harus kita perhitungkan nilai benefit sosial-budaya yang telah dipetik krama Bali saat ini. Demikian juga nanti jika Pusat Kebudayaan Bali (PKB) di Klungkung sudah mulai beroperasi, berbagai kegiatan kebudayaan akan dapat dilangsungkan di PKB.
Krama Bali akan merasakan dampak sosial-budaya yang cukup besar dari kehadiran PKB tersebut. Kita tentu tidak boleh membebani secara finansial dengan pertimbangan profit semata, kepada para pelaku budaya yang nanti akan memanfaatkan fasilitas PKB,. Harus ada pertimbangan benefit sosial-budaya yang diberlakukan dalam tata kelola kegiatan budaya di dalam kawasan PKB tersebut.
Kesimpulannya adalah bahwa perhitungan SROI dan CROI harus menjadi acuan. Kita tidak boleh hanya menghitung pendapatan dari retribusi dan hasil penjualan tiket. Namun harus diperhitungkan juga kontribusi kegiatan dalam suatu infrastruktur kebudayaan, terhadap adanya peningkatan apresiasi publik, penguatan kohesi sosial, maupun penguatan identitas kultural. Pada gilirannya, benefit sosial-budaya akan memberi kontribusi pada produktivitas, social security, kapasitas inovasi, ataupun kesejahteraan fisik dan mental masyarakat. Semua kontribusi nilai benefit ini harus dikonversi ke dalam nilai finansial, sebagai perhitungan pengembalian investasi infrastruktur kebudayaan.
Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar