Oleh I Gusti Ketut Widana
Hari suci Tumpek Landep diperingati setiap Sabtu Kliwon wuku Landep merupakan Tumpek pertama di antara enam Tumpek yang secara ajeg bergulir dalam hitungan 210 hari sekali. Secara teologis rerainan Tumpek Landep adalah ritual pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Siwa Pasupati, simbol kecerdasan dan kecermatan. Secara filsosofis, sebagaimana tersurat di dalam lontar Sundarigama: Tumpek Landep pinaka landeping idep, menjadi moment mengasah/menajamkan pikiran. Lalu pikiran diolah menelorkan gagasan lanjut menghasilkan berbagai alat-peralatan tradisional (pisau, pengiris, blakas, temutik, cangkul, sabit, tengala, dll), termasuk untuk membela/mempertahankan diri (kapak, keris, tombak, dll).
Seiring kemajuan zaman, berkembang luaran produk teknologi modern hingga super canggih. Mulai sepeda motor, mobil, hingga pesawat super sonic, termasuk peralatan perang/militer (alutsista), juga perangkat keras (hardware) lainya yang prinsip kerjanya mempermudah/memperlancar segala urusan kehidupan. Terhadap segala peralatan tersebut dia tas itulah dalam keyakinan Hindu (Bali) patut di-sangaskara melalui ritual Tumpek Landep.
Hakikatnya bukan memuja piranti/peralatan teknologi tetapi memuji keberkahan (waranugraha) Hyang Widhi yang telah dinikmati umat. Awalnya memang diperuntukkan pada perangkat persenjataan tradisional (berujung lanying/runcing), seperti keris atau tombak yang umumnya berlabel sebagai benda pusaka. Kini, ketika rerainan Tumpek Landep berlangsung, sebagaimana tampak di jalanan, tampilan sepeda motor dan mobil “mapayas” — berhiaskan sesaji (banten), lamak dan gantung-gantungan hilir mudik bersliweran.
Tentu menjadi salah kaprah jika umat memaknai ritual Tumpek Landep hanya sebatas “mayasin” motor/mobil atau bentuk produk harta benda lainnya yang terkesan “pamer” kekayaan (kesugihan) namun kehilangan nuansa religi sebagai moment penajaman pikiran. Sebagai hari suci, ritual apapun termasuk Tumpek Landep selalu menginspirasi umat untuk mengimplementasikan makna-makna dibalik simbol dalam bentuk laksana. Menelisik maknanya, Tumpek Landep merupakan hari suci dimana umat Hindu didorong untuk mengasah dan atau mempertajam “idep” (pikiran) sebagai bekal “idup” agar tidak “idep-idepang idup” — sekadar numpang/menjalani hidup tanpa memaknai kehidupan itu sendiri.
Jadi, hari suci Tumpek Landep bukan hanya “mayasin motor” lewat ritual mantenin/ngotonin, sebagaimana rutin dilakukan, melainkan “mayasin idep” (manah) agar menjadi “manacika” (pikiran bersih dan suci). Tentunya dengan terlebih dahulu menghiasinya melalui olah pikir agar semakin cerdas, cerdik atau cendikia. Dengan demikian pelaksanaan Tumpek Landep, tidak boleh berhenti pada rutinitas ritual tetapi terus bergerak ke arah peningkatan kualitas intelegensi/intelektual (rasio).
Ritual Tumpek Landep tidak boleh hanya bergerak di tataran intuisi (rasa), memainkan emosi keagamaan hingga pada tingkat ketertundukkan tanpa reserve. Bahwa sejatinya ada pemaknaan rasional dari setiap ritual, termasuk Tumpek Landep, yaitu bagaimana mentransformasi setiap gagasan/ide/konsep yang terpendam dalam pikiran terealisasi melalui tindakan atau perbuatan hingga menghasilkan sesuatu yang tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri tetapi juga berguna untuk orang lain.
Namun patut diingat, keberadaan hasil buah pikiran yang sudah berwujud produk teknologi, apakah masih berlabel tradisional atau super modern, semuanya tak ubahnya seperti tombak bermata dua. Bisa bermanfaat, dapat juga berkhianat, dan bahkan menyesatkan arah tujuan hidup umat meski dalam hitungan sesaat.
Mengambil contoh real semisal pemanfaatan sepeda motor atau mobil, jika digunakan sebagaimana bawaan standarnya lalu dioperasionalkan dengan menggunakan wiweka (pertimbangan akal) sehat, tentu dapat mengantarkan pada tujuan yang tepat dan pastinya selalu dalam keadaan selamat. Berbeda sekali jika motor/mobil tersebut dimodifikasi dengan selera semaunya, semisal knalpot model brong yang lagi ngetrend dengan suara bising memekakkan telinga, lalu dikemudikan secara ugal-ugalan, ditambah lagi melanggar peraturan lalu lintas, bisa dibayangkan risiko maut sudah menanti di depan mata. Bukan selamat yang di dapat tetapi sekarat, termasuk bisa juga menimpa orang lain yang sebenarnya sudah berlalu-lintas dengan taat.
Tak salah jika sloka kitab suci Bhagawadgita III. 37 mengingatkan : “Bagaikan api menyala, oh Arjuna membakar kayu api menjadi debu, demikian pula api ilmu pegetahuan (plus hasil teknologi) dapat membakar segalanya jadi abu”.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar