Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Pada 18 Mei, sejak 1977, dirayakan sebagai Hari Museum International. Tahun ini, tema peringatan International Museum Day (IMD) 2023 adalah Museum,
Sustainability, and Well-being. Tema IMD 2022 adalah The Power of Museum, tema IMD 2020 adalah Museums for Equality: Diversity and Inclusion.

Tahun 2019 tema IMD “Museums as Cultural Hubs:
The future of tradition”. Tema IMD tahun-tahun sebelumnya, “Museum and Memory”, “Museums
for Social Harmony”. Perhelatan IMD yang dipelopori oleh International Council of Museums itu memiliki arti penting bagi permuseuman di Indonesia, yang juga memperkuat industri pariwisata.

International Council of Museums mendefinisikan museum sebagai institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, dan kesenangan. Dilihat dari sisi definisi, maka museum sebenarnya tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan.

Sebagai destinasi wisata, museum memiliki tujuan berganda, selain untuk bersenang-senang juga untuk belajar. Hasil penelitian Duff, Carter, Cherry (2013,
dalam Fitrina dan Adriyana, 2017) menyatakan
museum dapat berkolaborasi dalam 6 aspek dengan perpustakaan, sebagai berikut: memberi pelayanan yang lebih maksimal, melakukan kegiatan ilmiah, memanfaatkan kemajuan teknologi, melakukan penghematan biaya, menyertakan digitalisasi, serta lebih komprehensif dalam penyajian koleksi. Keenam kolaborasi itu telah berjalan di Kanada dan New Zealand. Di Indonesia, kolaborasi GLAM (Gallery, Library, Archive, Museum) belum maksimal.

Baca juga:  Teknologi dan Pembelajaran Interaktif

Padahal, di masa pandemi yang lalu dan saat ini memasuki masa endemi, eksistensi museum bersama tiga institusi lainnya, dituntut untuk semakin digital.
Sebagai bagian penting dalam industri pariwisata, eksistensi museum di Indonesia perlu semakin didorong untuk kian eksis dan bertumbuh, khususnya dengan melakukan kolaborasi bersama gallery dan perpustakaan untuk memanfaatkan teknologi digital.

Pada industri pariwisata, teknologi digital digunakan untuk memudahkan wisatawan dalam melakukan seamless customer experience dalam mencari (look), memesan (book), dan membayar (pay) layanan wisata.Program digital tourism beberapa tahun lalu dimulai dengan meluncurkan ITX (Indonesia Tourism
Exchange) yang merupakan digital market place platform dalam ekosistem pariwisata atau pasar
digital yang mempertemukan buyers dan sellers di
mana nantinya semua travel agent, akomodasi, atraksi dikumpulkan untuk dapat bertransaksi.

Baca juga:  Harmoni Pariwisata dan Alam

Menpar menyatakan program itu sudah operasional 100% pada triwulan II/2017 dan semua industri pariwisata sudah go digital (kemenpar.go.id). Berbagai kegiatan seperti mobile apps, digital campaign, interactive campaign,viral marketing(facebook, twitter, youtube, blog) semakin terasa denyutnya. Promosi digital mempunyai pengaruh yang kuat serta memiliki jangkauannya luas serta cepat dapat direalisasikan dengan anggaran yang relatif murah.

Salah satu buktinya, 70% wisatawan Tiongkok mencari dan mendapatkan informasi mengenai Indonesia dari internet. Di kalangan pengelola museum masih terjebak
pada pemikiran museum sebagai institusi sosial,
nirlaba dan sejenisnya yang tidak perlu mempromosikan diri.

Meskipun mulai ada tanda gerakan ‘museum mengundang’, skema kegiatan yang terencana dengan baik yang menyertai gagasan tersebut belum terbentuk dengan jelas. Upaya mempromosikan diri seharusnya tidak berhenti hanya dengan publikasi namun disertai dengan peningkatan daya saing dalam hal pelayanan dan kualitas produk yang ditawarkan yang memang
mampu memikat kunjungan masyarakat.

Baca juga:  Tantangan UMKM di Tahun 2020

Data yang diperoleh dari website menunjukkan bahwa
pada tahun 2004, British Museum memperoleh keuntungan lebih dari 20 juta poundsterling. Museum of Art di Perancis menghasilkan sekitar US$ 13 juta pada tahun 2006, sedangkan Smithsonian Museum berhasil menghimpun keuntungan sebesar US$ 167 juta pada tahun 2007 (Museografi, Oktober 2008).

Sebaliknya, organisasi nirlaba seperti museum memperoleh anggaran dari donor atau lembaga induk. Dengan anggaran yang diperolehnya, organisasi menghasilkan produk atau jasa yang kemudian ditawarkan kepada konsumennya.

Berbeda dengan perusahaan, apabila produk dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi nirlaba ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumennya, maka pihak donor masih mungkin akan memberi dana lagi, dengan catatan kalau pihak donor masih menganggap organisasi itu baik.

Saatnya revitalisasi museum sepakat dengan meningkatkan kolaborasi dengan gallery dan
perpustakaan dengan memanfaatkan teknologi
digital. Dengan demikian, museum bersama gal￾lery dan perpustakaan akan semakin diminati
wisatawan. Selamat Hari Museum Internasional
2023.

Penulis, Dosen Prodi Pariwisata, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *