Oleh Kadek Suartaya
Barong Ket atau Barong Ketet adalah barong yang paling umum dan tersebar di penjuru Pulau Bali. Kini, bukan hanya wisatawan mancanegara mengagumi tarian Barong Ket yang disaksikan di panggung-panggung seni turistik.
Masyarakat Bali sebagai pewarisnya juga tak kurang antusias menyimak pagelarannya. Tengoklah gemuruh Lomba Tari Barong Ket di arena Pesta Kesenian Bali
(PKB) XLV Tahun 2023, sungguh menjadi seni pentas sarat pesona. Sajian tari Barong Ket sejak lima tahun di gelanggang pesta seni tersebut, rupanya semakin apik, menunjukkan tingkat pencapaian estetik-artistik yang berbinar taksu.
Kepiawaian skil dan kembangan variasi yang disuguhkan oleh masing-masing duta Barong Ket kabupaten/kota, tampak dipersiapkan secara militan. Barong Ket pun melejit menjadi primadona baru PKB. Sejatinya, barong adalah benda sakral yang hingga kini dihormati begitu takzim oleh masyarakat Bali. Beragam bentuk barong itu, pada umumnya dikeramatkan di tempat suci dan hanya dihadirkan pada waktu, tempat, dan acara terpilih.
Dilihat dari segi bentuknya, umumnya menyerupai binatang berkaki empat dan ada pula berkaki dua seperti manusia. Barong Ket, Barong Lembu, Barong Macan, Barong Gajah, Barong Asu adalah jenis barong berkaki empat. Barong Landung dan Barong Brutuk adalah jenis barong pesonifikasi manusia. Selain kedua jenis barong tersebut, di beberapa desa di Bali terdapat pula barong dengan menggunakan topeng tokoh-tokoh
utama cerita Ramayana seperti Rama, Laksamana, Sugriwa, Hanoman, Sempati, Rahwana, Kumbakarna, dan Wibisana.
Barong yang menggunakan karakter dari dramatari Wayang Wong ini disebut Barong Kedingkling, Nongnongkling, Blasblasan. Barong Ket yang dikemas sebagai seni wisata sejak tahun 1940-an, kini dikenal masyarakat dunia sebagai salah satu ikon Bali. Barong yang memiliki sorot mata mendelik tajam ini berpenampilan agung berwibawa.
Secara visual, Barong Ket merupakan bentuk kombinasi dari singa, macan atau lembu. Bulu-bulu putih barong ini dibuat dari praksok dan ada pula yang mempergunakan
bulu-bulu unggas. Keseluruhan tubuhnya meriah dengan ornamen berukir, berprada kuning emas dan dengan kemilau binar-binar kacanya. Secara mitologis, Barong Ket diidentikkan dengan raja hutan alias banaspati raja yang umumnya dikeramatkan di Pura Dalem masing-masing desa.
Barong yang sebelumnya sangat dikeramatkan, menjadi seni tontonan untuk memenuhi keinginan para pelancong. Menurut Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1938), tari Barong Ket telah disaksikan turis pada tahun 1930-an di Desa Batubulan. Selanjutnya dengan kemasan seni pertunjukan berjudul
Kunti Sraya yang berawal pada tahun 1948 di Desa Singapadu, barong menjadi salah satu seni pentas yang umum disaksikan wisatawan, hingga sekarang.
Jagat pariwisata pun kemudian mencuatkan Barong Ket ke berbagai lini kehidupan profan sekuler. Pergeseran
sosial budaya masyarakat Bali dari agraris tradisional ke industri pariwisata menjadikan wajah (tapel) atau bentuk keseluruhan barong ini bernilai ekonomis. Barong imitasi sebagai benda pajangan atau souvenir diperjualbelikan dalam bentuk seni rupa seperti lukisan dan patung.
Kendati diumbar begitu masif sebagai ladang finansial, akan tetapi barong sebagai mitos, barong sebagai benda sakral, dan barong sebagai seni tetap kokoh. Barong sebagai mitos masih takzim dijadikan sumber berkesenian di kalangan kreator dan pelaku seni di Bali. Lontar Barong Swari adalah salah satu sumber mitos barong yang banyak dieksplorasi.
Bidang seni pertunjukan tari atau dramatari seperti tak pernah jenuh mengeksplorasi mitos barong dijadikan bingkai lakon, baik seni pertunjukan yang kental tradisional maupun garapan pentas kreatif inovatif. Namun demikian, barong sebagai benda sakral justru semakin kuat dengan bukti semakin dirawatnya barong yang diwarisi dan bahkan dibuatnya barong sakral yang
sama sekali baru.
Sedangkan barong sebagai seni, menunjukkan eksistensinya pada pementasan tari barong dalam ruang komunal yaitu pertunjukan dramatari Calonarang di tengah masyarakat Bali. Demikian pula pagelaran tari barong dalam forum kompetisi yang belakangan ini sering diselenggarakan, merupakan duel tradisionalisasi Barong Ket di tengah reduksi dari komersialisasi.
Perspektif positifistik tampak berpendar menyangkut
keberadaan barong, kini dan nanti. Kini, moralitas yang perlu kita renungkan adalah amanat filosofis dari barong sebagai pengibar kebenaran, kebajikan, ketenteraman, dan kedamaian. Barong sebagai konkretisasi dari sebuah abstraksi mitos, rupanya tetap akan mengingatkan dan mengawal moralitas manusia
(Bali) dalam peran dan tata pergaulanannya agar senantiasa berbudi pekerti yang jujur serta beralkhak mulia.
Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar