Eduardo Edwin Ramda. (BP/istimewa)

Oleh Eduardo Edwin Ramda

Mundurnya Irwan Fikri (Wakil Bupati Agam) dan Lucky Hakim (Wakil Bupati Indramayu) menyingkap tabir relasi kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia. Alasannya adalah terkait dengan ketidakserasian relasi dan minimnya pendelegasian tugas oleh bupati. Cerita ini merupakan “little piece of cake” atas persoalan keberadaan jabatan wakil kepala daerah yang diperdebatkan sejak dulu.

Di era pemilu terbuka, keberadaan wakil kepala daerah dipandang sebagai simbol identitas untuk memperkuat daya tarik dan elektabilitas. Wakil kepala daerah dipandang merepresentasikan identitas agama, suku, ras, dan ideologi politik. Kombinasi calon kepala daerah dan wakilnya menggambarkan kombinasi identitas yang hendak mendulang ceruk di gelanggang pilkada.

Merujuk pada peraturan yang ada (UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah), sebenarnya wakil kepala daerah membantu dan bertanggung jawab kepada kepala daerah. Hal ini menunjukkan kesan ketidaksetaraan posisi, meskipun dalam proses memenangkan pertarungan relasi merupakan beban bersama, namun menjadi hirarkis setelah dilantik.

Tugas wakil kepala daerah telah dipaparkan secara cermat dalam Pasal 66 UU 23/2014. Paragraf pertama menekankan tugas wakil kepala daerah sebagai pembantu kepala daerah. Dalam pelaksanaannya, pelaksanaan fungsi pendampingan tergantung pada kemurahan hati kepala daerah, sehingga pelaksanaannya seringkali tidak maksimal.

Baca juga:  Pagerwesi, Pagar Diri-Pageh Hati

Frasa “membantu” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti memberikan dukungan agar berhasil. Kata ini dipahami sebagai ikut serta melakukan dan bukan menjadi tokoh utama. Tinjauan hermeneutik ini menggambarkan bahwa eksistensi wakil tidak begitu penting, apalagi faktanya pada titik tertentu kerap tidak dilibatkan oleh kepala daerah.

Ayat 1 (Pasal 66) yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya menyebabkan meluasnya perceraian politik di daerah. Kepala daerah merasa tidak membutuhkan pendampingan, begitu pula sebaliknya kepala daerah merasa bahwa eksistensi wakil belum sepenuhnya optimal. Menghadapi hal ini, wakil kepala daerah berada pada dua kemungkinan: diam dan terus menerima fasilitas yang menjadi hak mereka atau merasa malu dan mengundurkan diri dari posisi ini.

Manakala eksistensi wakil kepala daerah tidak dioptimalkan, dipastikan akan terjadi pemborosan anggaran daerah. Pasalnya, gaji dan anggaran operasional wakil kepala daerah selalu masuk dalam anggaran daerah, namun outcome dalam penganggaran tidak tercapai akibat tidak adanya ruang gerak untuk bekerja. Jika anggaran tidak terealisasi, maka akan berdampak pada pos anggaran di tahun berikutnya.

Lantas, apakah jabatan Wakil Kepala Daerah perlu ada? sebenarnya pemerintah daerah sudah memiliki Sekretaris Daerah yang bertindak sebagai kepala administrasi. Peran wakil kepala daerah dan sekretaris daerah terkesan tumpang tindih karena kehadiran keduanya untuk membantu kepala daerah. Selain itu, banyak kasus Kepala Daerah yang bekerja tanpa didampingi wakilnya namun roda pemerintahan tetap berjalan tanpa didampingi wakilnya. Penghapusan jabatan wakil kepala daerah dapat dilakukan dan fungsi dan tugas pembantuan sepenuhnya dilimpahkan kepada Sekretaris Daerah.

Baca juga:  Puluhan Pejabat Pemkab Buleleng Dimutasi, Jabatan Ini Masih Lowong

Kalaupun keberadaan Wakil Kepala Daerah dianggap penting, maka proses pemilihannya di daerah perlu ditinjau ulang. Skema pertama, pemilihan wakil kepala daerah tidak perlu diikutsertakan dalam kontestasi politik seperti pemilihan presiden dan wakilnya. Secara teknis pemilihan wakil kepala daerah secara sederhana dilakukan dengan dua pilihan yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada kepala daerah terpilih atau secara musyawarah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di mana calonnya adalah mereka yang dipilih oleh kepala daerah.

Langkah ini tidak akan mendegradasi semangat demokrasi namun akan memperkecil potensi disharmoni kepemimpinan daerah. Pemilihan melalui DPRD juga memperkuat legitimasi politik dibandingkan dengan pengangkatan langsung dari unsur ASN.

Kemudian, skema kedua yang patut dipertimbangkan adalah mengembalikan mandat penunjukan wakil kepala daerah kepada kepala daerah. Kepala daerah diberi hak prerogatif untuk mengangkat wakil kepala daerah atau tidak mengangkat sama sekali apabila merasa mampu melaksanakan tugas secara mandiri. Hal ini akan menuntaskan persoalan pemborosan anggaran atau beban ikatan politik sebagai konsekuensi selama proses pemilu.

Baca juga:  Kuningan, Momentum Penguatan Dharma

Selanjutnya untuk mengurangi disharmoni, Pemerintah Pusat berkewajiban mendorong setiap daerah untuk memiliki Peraturan Kepala Daerah yang mempertegas tugas dan wewenang Wakil Kepala Daerah. Hal tersebut dapat dilakukan sebagai mitigasi jangka pendek untuk memastikan adanya kerjasama yang konkrit dari para pemimpin daerah dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah.

Dalam jangka panjang, posisi wakil kepala daerah saat ini memang layak untuk ditinjau kembali, baik dalam proses pemilihan maupun secara pahit ditinjau kembali eksistensinya. Jika negara sudah menggemakan semangat debirokratisasi, sudah saatnya keberadaan posisi ini ditinjau ulang demi efisiensi anggaran. Revisi regulasi akan membuat pembagian tugas pimpinan daerah menjadi lebih jelas, lebih pasti, dan tidak bergantung pada kemurahan hati kepala daerah. Efeknya, secara parsial masyarakat daerah akan dirugikan dan secara simultan negara akan terjebak dalam labirin kisruh politik daerah.

Penulis, Analis Kebijakan KPPOD

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *