Oleh I Gusti Ketut Widana
Belakangan, lewat berbagai media massa (cetak, elektronik & online) kian marak saja terekspos berita-berita terkait kasus kriminal. Mulai tindak perkelahian, pengeroyokan, penganiayaan, lanjut pencurian, perampokan, pembegalan, pemerkosaan hingga pembunuhan sadis dengan cara memutilasi korbannya.
Seakan manusia sudah bukan sosok manusia lagi, menjelma menjadi serigala bagi sesama manusia — homo homini lupus. Hati nuraninya seperti tergadaikan, hingga dengan mudah melakukan tindak kejahatan yang terkadang dipicu persoalan sepele. Kasus teranyar
terjadi di kawasan Dewi Madri Denpasar Timur, seorang tukang parkir setelah dikeroyok, tewas ditusuk pisau para pelaku yang dominan kalangan pelajar SMP (BP, 6/6).
Membuat hati miris serasa teriris sembilu, oleh ulah anak-anak remaja yang masih muda belia ini namun sudah nekad melakukan tindak kejahatan tergolong
berat dengan ancaman hukuman belasan hingga puluhan tahun. Mengulik pemicunya, setidaknya ada empat (4) rangkaian penyebab terjadinya peristiwa kriminal dengan segala modus operandinya yang umumnya dilakukan anak-anak muda masa kini.
Pertama, ‘salah memanfaatkan ruang dan waktu senggang’, yang semestinya digunakan kegiatan positif, edukatif dan produktif, justru kian ngetrend dijadikan
kesempatan atraktif lewat ‘konkow-konkow’ alias ‘nongkrong’ di sembarang tempat, lengkap dengan sajian konsumsi miras (minuman ras bhuta) pemantik adrenalin. Kedua, ‘salah jalan’, begitu usai kumpul-kumpul dengan kelompok atau popular disebut genk-nya lanjut wara wiri (baca: kluyuran) tanpa tujuan jelas.
Membentuk formasi konvoi mereka biasanya menunjukkan aksi ugal-ugalan, kebut-kebutan/trektrekan bahkan tak jarang mengacungkan sajam, lebih-lebih yang tergabung dalam kelompok tertentu dengan identitas dan atribut khasnya.
Ketiga, ‘salah kontrol’, terutama terhadap rasa ego yang begitu mudah tersulut emosi memantik perilaku ‘edan’ (gila = tidak sadar diri). Tak salah jika anak muda golongan “3 e” (ego, emosi, edan) seperti ini disebut sebagai generasi “sumbu pendek”. Ibarat petasan, jika sumbunya pendek, sedikit saja disulut api dengan cepat meledak.
Semakin besar petasan bersumbu pendek kian dahsyat juga daya ledaknya, dengan risiko meluluh-lantakkan apapun yang berada di sekitarnya. Diakui ataupun tidak, inilah tipikal (sebagian) anak muda zaman now yang digolongkan sebagai “Generasi Z” (baca : Zet) dengan eksistensinya yang sudah mulai “pasretset pesranting” (terombang-ambing alias compang camping) oleh pengaruh negatif perkembangan gaya hidup kontemporer yang semakin sekuler.
Keempat, muara akhir dari segala penyebab terakumulasi menjadi ‘salah asuhan’, menunjuk langsung peran, kewajiban dan tanggung jawab orang tua yang terkesan lepas tangan, membebaskan anak-anaknya entah dimana, mau kemana, dengan siapa dan melakukan apa saja, seperti cuek bebek saja.
Logikanya, kalau orang tua peduli mestinya ketika sang anak tidak ada di rumah sesuai waktu normalnya, semestinya dipertanyakan keberadaannya. Lanjut jika memang bersalah wajib diingatkan atau dinasehati
agar tidak mengulangi lagi perilaku tak patut itu yang bisa menyuramkan bahkan menghancurkan masa depannya. Sikap tegas orang tua, bila perlu tindakan keras (bukan kasar) tampaknya perlu terus menerus ditunjukkan agar tertanam jiwa disiplin dan bertanggungjawab atas diri sendiri dan keluarga.
Sebaliknya, jika orang tua lemah (lembek) cenderung permisif, membiarkan apapun yang sebenarnya sudah salah, hanya akan menjadi bibit tumbuhnya kebiasaan buruk yang kemudian berkembang menjadi perilaku
dengan karakter negatif, destruksif dan pastinya
kontraproduktif. Benar kata Mahatma Gandhi, bahwa “kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu
derajat seseorang dan bangsa”.
Karenanya, lanjut Gandhi, “Kebesaran kemanusiaan bukanlah dalam menjadi manusia tetapi dalam menjadi sosok (berkarakter) manusiawi”. Ini sejalan dengan
konsep “memanusiakan manusia”, bagaimana se-
tiap generasi pada era apapun yang kesemuanya
adalah harapan bangsa dan negara serta agama
jangan dibiarkan tumbuh berkembang dengan
karakteristik “kkn” — kanggo keneh nira – hanya
mengikuti kemauan sendiri, tak peduli dengan
tatanan susila dalam beretika, aturan norma
ketika masuk dan larut dalam segala bentuk
aktivitas sosial, yang diharapkan tetap berland-
askan nilai moral, dan spiritual.
Hanya dengan begitu kelahiran dan kehadiran generasi ‘sumbu pendek’ tidak semakin merebak dan semarak,
yang dapat merusak harkat, derajat dan martabat kemanusiaan yang beradab.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar