Oleh IGK Manila
“Bali is more than a place; it’s a mood, an aspiration, a tropical state of mind”,” demikian pemain saxophone dunia, Trevor Amos, pernah berkata. Pulau indah ini, dengan pesona dan budayanya, telah menjadi tempat singgah, hidup dan inspirasi bagi banyak orang. Ini agaknya yang kemudian membuat Bali sendiri menggantungkan hidupnya pada pariwisata.
Namun pandemi Covid-19 telah memberi pelajaran berharga. Ketergantungan ekonomi yang mencapai 80 persen pada pariwisata membuat kehidupan ekonomi limbung. Ketika pandemi bisa dikatakan usai atau telah beralih menjadi endemi, kehidupan ekonomi telah
mengalami kenormalan baru. Data terbaru menunjukkan rebound pariwisata di Bali.
Pada Desember 2022, misalnya, wisatawan mancanegara (wisman) yang datang langsung ke Provinsi Bali sebanyak 377.276 kunjungan, terjadi peningkatan 31,27% dari bulan sebelumnya. Wisatawan terutama berasal dari Australia.
Data ini menandakan pemulihan pariwisata sudah di depan mata. Akan tetapi, pemulihan pariwisata bukan
berarti kembali menjalankan pariwisata dalam pola business as usual. Ketika pandemi Covid-19 sudah dinyatakan berakhir, kita harus merenungkan pelajaran yang didapat. Dengan cara itu, kita dapat meredefinisi wajah pariwisata di Bali dan membangun model yang lebih berkelanjutan dan tangguh.
Pandemi Covid-19 harus menggugah kita untuk berefleksi lebih mendalam tentang kerentanan dan ketidakseimbangan model pariwisata. Seperti wilayah-wilayah lainnya di dunia yang menggantungkan hidup pada pariwisata, Bali merasakan dampak pahit dari ketidakseimbangan ekonomi, yakni model ekonomi yang bergantung pada arus perjalanan internasional.
Masa depan pariwisata di Bali, oleh karena itu, harus memasukkan prinsip-prinsip keberlanjutan, inklusi, dan
diversifikasi. Dengan mempromosikan model pariwisata yang berorientasi pada keberlanjutan, kita dapat memastikan bahwa keindahan alam dan kekayaan budaya Bali tetap dapat dinikmati dari waktu ke waktu.
Untuk itu, pergerakan menuju model pariwisata berkelanjutan di Bali akan memerlukan kerja sama antara pemerintah, sektor bisnis, komunitas lokal, dan wisatawan. Dalam filosofi Bali, seperti pohon beringin dengan akar yang saling bergantung, bersatu dan berjuangbbersama. Membangun pariwisata Bali sebagai model pembangunan yang lebih holistik dan sustainable mensyaratkan ragam sektor untuk saling berinteraksi: pertanian tradisional, kerajinan tradisional, ekowisata berbasis komunitas, dan pendidikan berbasis budaya.
Dalam praktiknya, Bali, dengan sejarah panjang pertanian dan kerajinan tradisionalnya, memiliki potensi besar untuk mengintegrasikan sektor-sektor ini ke dalam pariwisata. Di banyak negara, seperti Costa Rica, model ini telah terbukti berhasil. Di sana, ekowisata telah menjadi instrument vital untuk melestarikan lingkungan dan kekayaan budaya, sembari memanjakan
wisatawan dengan pengalaman yang unik.
Begitu juga, Bhutan telah mengajarkan kita bahwa wisatawan harus dilihat bukan hanya sebagai konsumen tetapi sebagai “penjelajah” atau pengelana yang ikut bertanggung jawab atas kelestarian lingkungan dan pariwisata itu sendiri. Prinsip-prinsip ini harus menjadi dasar dari model pariwisata berkelanjutan yang kita bangun.
Menerapkan pariwisata berkelanjutan dan mempromosikan integrasi dengan sektor lain, seperti pertanian tradisional, adalah langkah yang penting. Integrasi ini dapat menciptakan sistem yang saling mendukung, di mana pariwisata membantu menjaga dan melestarikan pertanian tradisional, dan sebaliknya, pertanian tradisional menambah nilai dan pengalaman
otentik bagi pariwisata.
Sementara itu, inisiatif ekowisata berbasis komunitas dan program pendidikan berbasis budaya dapat lebih meningkatkan nilai pariwisata berkelanjutan. Dengan melibatkan komunitas lokal dan mempromosikan pendidikan budaya, inisiatif-inisiatif ini dapat berkontri-
busi pada pengalaman pariwisata yang lebih inklusif dan beraneka ragam.
Akhir kata, dengan cara ini, kita memiliki kesempatan untuk membentuk ulang model pariwisata bali yang
berkelanjutan. Bali bisa kembali menorehkan sejarah, untuk menunjukkan kepada dunia bagaimana pariwisata berkelanjutan dan integrasi dengan sektor lain, seperti pertanian tradisional, kerajinan tradisional, ekowisata berbasis komunitas, dan pendidikan berbasis
budaya, dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan dan adil bagi semua.
Penulis, Putra Bali, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN), Anggota merangkap Sekretaris Majelis Tinggi partai NasDem.