GIANYAR, BALIPOST.com – Hari terakhir Festival Wariga Usadha Siddhi ditutup dengan workshop singkat yang terdiri dari Usadha Herbal (Taru Premana), Usadha Tantra dan Usadha Ruwatan pada Rabu (12/7) dari pagi hingga petang. Kegiatan menghadirkan beberapa pembicara, yaitu I Gusti Ngurah Bagus Yudha Pradana, I Ketut Sandika dan Ida Bagus Made Bhaskara.
I Gusti Ngurah Bagus Yudha Pradana, S.Kes menyampaikan terkait Usadha herbal dalam kosmologi planet, organ dan tanaman. Gus Yuda juga membeberkan hari-hari baik untuk menanam tanaman obat dan meracik obat berdasarkan siklus perhitungan waktu atau wariga Bali. “Setiap hari itu punya pengaruh yang berbeda terhadap jenis tanaman obat yang kita tanam,” ungkapnya dikutip dari Kantor Berita Antara.
Peserta workshop pun tergugah ketika Gus Yudha mempraktekkan langsung cara meracik ramuan herbal yang berkhasiat menstabilkan gas dalam lambung.
Narasumber kedua, I Ketut Sandika pemuda penulis 2 buku best seller tentang Tantra ini menjelaskan Usadha Tantra menjadi hal yang penting dalam perjalanan agama Hindu dan Budha di Indonesia. Tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Tantrayana.
Ketut Sandika mengungkapkan ada 3 teknik penyembuhan yang dijalankannya di Aguron-guron Tantra Sastra Nusantara. Antara lain sistem wariga, sistem gama dan sistem wisuda. “Aksara Tantra ada di dalam kelompok gama. Yang melahirkan teks literasi Usadha dalam konteks melakukan penyembuhan dengan media aksara,” jelasnya.
Dijelaskannya, ada banyak definisi Tantra. Dari sekian banyak definisi, ada satu hal menarik bahwa Tantra di Nusantara selalu berorientasi pada aksara. “Maka ciri khas Tantra selalu identik dengan aksara. Maka prana aksara Tantra berhubungan dengan aksara. Aksara bukan sekedar simbol tapi berkaitan dengan energi prana,” terang Sandika.
Sebagai seorang penyembuh, Sandika menegaskan bahwa pengusadha di Bali harus menguasai aksara. Menurutnya, usadha Bali itu sistematis dan terstruktur kaitan dengan praktek Usadha prana. “Sebagai pengusadha harus seperti dokter, jangan ujug ujug apsien didiagnosa amah leak,” terangnya. Pertama, pengusadha harus memohon izin kepada Sanghyang Tiga Wisesa, nunas pengeraksa jiwa atau pelindung jiwa, baru masuk ke diagnosa yang dalam usadha disebut roga pariksa. “Pengusadha menyembuhkan 1 pasien, musuhnya bisa 5. Maka itu Pangeraksa jiwa ini penting,” sarannya.
Ida Bagus Made Bhaskara yang didampingi Jodi Feriawan, menjadi pembicara pamungkas pada sesi ketiga workshop Usadha Ruwatan Festival Wariga Usadha Siddhi. Pembina Pasraman Dharmasila Tampaksiring ini mengatakan, ruwatan memang erat kaitannya dengan Usadha dan Wariga. “Ketika ada yang sakit yang tak bisa diobati, memang disarankan melakukan ruwatan atau pengelukatan. Jadi hubungannya sangat erat dengan Usadha,” jelasnya.
Sebagai penutup, Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud AAGN Ari Dwipayana mengungkapkan ternyata tidak cukup waktu hanya 7 hari untuk mengupas warisan ilmu pengetahuan Wariga dan Usadha Bali.
“Nampaknya kita memerlukan waktu dan juga kesempatan baik berikutnya untuk memperdalam terkait wariga maupun Usadha,” tegas tokoh Hindu Nasional yang juga Koordinator Staf Khusus Presiden ini.
Dalam kesempatan tersebut, Ari Dwipayana juga mengucapkan terima kasih atas semangat semua pihak yang terlibat dan hadir selama festival berlangsung. “Tentu harapan kita, pertemuan ini bisa dilanjutkan di masa yang akan datang,” jelasnya.
Gung Ari menawarkan kepada Gotra Pengusadha Bali untuk tetap melanjutkan kerjasama pameran serupa pada program Sastra Saraswati Sewana di Tahun 2024. “Yayasan akan ambil tema Dharma Niti, Kepemimpinan Bali, terkait harapan kita terhadap pemimpin yang sudah terpilih (Presiden, Anggota DPD, DPR, DPRD).
Tapi, kita tidak hanya akan bahas konsep dan kearifan kepemimpinan Bali. Kita akan isi kembali dengan pameran Wariga dan Usadha. Teman Gotra Pangusadha agar tetap semangat. Kita perlu ruang baru untuk bicara lebih dalam lagi. Bahwa semua harus dimulai dari jalan sastra,” pungkas Gung Ari. (kmb/balipost)