Oleh Sahadewa
Kedaulatan keuangan menjadi bagian dari keadaan kemasyarakatan saat ini untuk ditinjau ulang. Kenyataan berbicara secara jelas bahwa kehidupan dalam masyarakat tidak dapat terlepas dari adanya keuangan yang berdaulat. Dengan perkataan lain uang telah mengambil peran yang utama.
Akan tetapi, dilanjutkan dengan faktor pendukung yaitu pengertian tentang hidup saat ini digerakkan oleh bukan lagi yang utama itu adalah kebaikan dan kebenaran melainkan kebaikan dan kebenaran yang dikamuflasekan dengan menggunakan keuangan.
Kamuflase keuangan atas kedaulatan keuangan menutupi kedaulatan hidup dalam masyarakat yang menjunjung nilai kultural religius. Sekarang, sudah zamannya untuk tidak lagi mengesampingkan kedaulatan keuangan melainkan kekuasaan atas dasar keuangan modern dan inilah justru persoalannya. Uang sebagai “penguasa tunggal” yang menggerakkan perekonomian.
Secara teoritis memang benar yang menggerakkan perekonomian bukanlah uang akan tetapi modal. Akan tetapi, fakta yang benar adalah kekuasaan atas keuangan telah menjadi keterpurukan dan ketergantungan yang mutlak tidak dapat dikesampingkan sekalipun atas nama kebaikan dan kebenaran yang sejati.
Perekonomian telah lama dikuasai oleh penguasaan nilai uang. Nilai uang dijadikan sebagai kekuatan. Boleh jadi ke depan uang dipertanyakan kembali kekuatannya digantikan oleh sesuatu lain yang lebih akurat.
Keakuratan ini bukan kemudian pengganti adanya uang melainkan merevisi kegunaan uang sebagai alat tukar secara feasible. Ini arti dan maksudnya adalah tidak menjadikan uang dalam kapasitas untuk berpolitik selanjutnya dapat menuai kondisi baru yang tidak menjebak kemanusiaan dalam uang sebagai alat politik dalam berpendapatan.
Singkat kata tidak ada kekuatan baru yang lebih akurat selain kebaikan dan kebenaran. Kebaikan yang berpuncak pada kebenaran. Tapi bukan kebenaran yang dipalsukan. Melainkan kebenaran yang berproses secara simultan dengan perbuatan baik sehingga menjelmakan dirinya dalam perekonomian yang tidak fanatik ideologis yang mengatasnamakan apapun termasuk agama. Kenyataan ekonomi hanya mungkin terjadi bila ekonomi dipertautkan dengan berbagai bidang secara terbuka namun tidak ideologis.
Apabila dirunut tentang adanya kemiskinan, kemajuan misalnya kemajuan dunia pariwisata dengan kemajuan bidang infrastrukturnya patut djadikan bahan evaluasi dengan taraf kualitas hidup masyarakat di dalam menempuh masa depan khas dengan kebudayaannya masing-masing. Ini berarti pertama, kemasyarakatan dan pendapatan dalam berpariwisata tidak berhubungan secara langsung. kedua.
Kemasyarakatan adalah puncak yang dimengerti oleh dunia pariwisata. Ini berarti kemasyarakatan yang dimaksudkan itu adalah pertama, menjadikan masyarakat sebagai sasaran kesejahteraan dan kedua, tidak menjadikan kekuasaan atas dunia pariwisata sebagai batu sandungan atas kesejahteraan rakyat.
Pertanda penting jika kepariwisataan nasional termasuk daerah kehilangan jati dirinya sendiri yang itu ditandai oleh berkurangnya bentuk kepedulian terhadap dua poin pada paragraf di atas. Oleh karena itu langkah permulaan dalam berpariwisatan sebenarnya mampu diraih suatu bentuk dan pola yang segaris dengan kesejahteraan masyarakat ataupun rakyat adalah segenap potensi kepariwisataan mesti dikembalikan kepada kesejahteraan rakyat ataupun masyarakat sehingga wisatawan yang berkunjung dengan melihat kesejahteraan itu turut diajak bergotong royong secara tidak langsung. Bergotong royong bersama untuk bersama-sama menemukan jalan kesejahteraan masing-masing dengan saling memberi dan menerima antara wisatawan yang senang datang dengan masyarakat yang senang menerima ataupun di atas itu yaitu sama-sama berbahagia.
Akan tetapi, dalam pendapatan yang dipolitisasikan untuk tujuan tertentu tentu sudah pasti akan mengalami sebuah kendala yaitu kendala moralitas berpariwisata. Memang tulisan ini mengambil contoh nyata salah satunya bidang pariwisata yang akan dan mungkin kelak sebagai salah satu andalan utama di masa depan asalkan tidak salah dalam mengambil titik-titik orientasinya kepada kesejahteraan yang bergotong royong itu. Pada babak final akan terasa apakah kemudian pariwisata dapat sekedar sebagai politik pendapatan yaitu kemudian dijadikan sebagai sapi perahan?
Inilah yang mesti dijawab dengan segera mengingat tidak mungkin kesejahteraan diraup hanya untuk segelintir dan meninggalkan yang lain dengan tidak kalah jumlahnya itu. Bahkan dalam arti tertentu perputaran uang mesti dipelajari kembali dalam dunia kepariwisataan agar uang bukan sebagai satu-satunya melainkan salah satu saja untuk menjaga asa kesejahteraan masyarakat luas apalagi seperti masyarakat Bali yang banyak mengandalkan sektor kebudayaan. Oleh karena itu, patut dijadikan sebagai sebuah pilot project agar bagaimana pariwisata sebagai salah satu yang mampu melestarikan kekayaan budaya dan bahkan alam maupun lingkungan sehingga memberikan suatu bentuk pembelajaran tersendiri bagi masyarakat dunia dengan mengambil contoh dari Indonesia termasuk tentunya Bali.
Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM