DENPASAR, BALIPOST.com – Bali yang terkenal dengan adat dan budayanya yang dilaksanakan oleh krama adat, menjadi salah satu keunggulan dalam upaya pelestarian kebudayaan itu sendiri. Terlebih, kini Pemerintah Provinsi Bali dengan visi misi Nangun Sat Kerthi Loka Bali juga berkomitmen dalam menjaga kelestarian adat dan budaya yang ada.
Karena itu, dalam program kerjanya Gubernur Bali Wayan Koster sangat konsen dengan kegiatan adat serta kelembagaannya. Bahkan, komitmen itu juga direalisasikan melalui regulasi yang jelas untuk mendukung pelestarian adat dan budaya di Bali.
Sejalan dengan itu, kini krama banjar dan desa adat di Bali juga semakin bersemangat untuk melaksanakan upacara agama yang menyatu dengan adat dan budaya Bali. Seperti yang kini banyak digelar di sejumlah desa adat, yakni upacara keagamaan secara massal. Pelaksanaan ini dilakukan untuk memberikan keringanan biaya bagi para krama yang melaksanakan upacara. Hal ini pula yang dilakukan jajaran krama Banjar Adat Bun, Desa Adat Denpasar, beberapa waktu lalu. Krama setempat menggelar upacara matatah massal.
Dalam upaya melestarikan budaya dan adat Bali, juga untuk meringankan beban krama adat melaksanakan ritual keagamaan. Upacara metatah atau potong gigi diikuti sekitar 98 orang.
Menurut Kelian Adat Banjar Bun, I Gede Anom Prawira Suta, karya matatah massal ini dilaksanakan tiap empat tahun sekali, dan program ini juga telah masuk dalam prarem Banjar Adat Bun. Kegiatan ini merupakan yang kali keempat dilakukan. Pesertanya tersebut dari krama Banjar Bun dan krama dari luar. “Karya matatah massal ini merupakan program rutin yang dilaksakan tiap empat tahun sekali. Dan program ini sudah masuk dalam pararem Banjar Bun,” terang Anom Prawira disela-sela ritual matatah massal di Balai Banjar Bun, beberapa waktu lalu.
Dikatakan, pelaksaan program ini bertujuan untuk meringankan pelaksanaan yadnya masyarakat, terutama krama Banjar Bun. Pada kegiatan metatah kali pihaknya tidak mematok biaya. Krama yang ikut matatah massal dipersilahkan mapunia. Artinya, seberapa mereka mapunia, tidak dipatok pihak panitia atau prajuru banjar.
Manggala Prawartaka Karya Metatah Banjar Bun, I Wayan Suryawan menambahkan karya ini menghabiskan dana ratusan juta rupiah. Dimana biaya tersebut dari punia Pemkot Denpasar, donatur, dan dari krama. Sedangkan untuk pamilet/peserta karya ini tidak dipungut biaya sepeserpun. Panitia cuma menerima sekedar punia seiklasnya dari pamilet. “Karya ini dilaksanakan agar pelaksanaan yadnya yang ada di Agama Hindu tidak terasa berat bagi krama. Nah ini tujuan utama dari karya ini,” tutur Suryawan.
Sementara itu, Wali Kota Denpasar, IGN Jaya Negara mengatakan bahwa kegiatan seperti ini sangat membantu krama dalam meringankan bebannya melaksanakan yadnya. Ini menandakan konsep manyama braya sangat dibangun di Banjar Bun. “Ini sangat meringankan sekali warga banjar yang ada disini. Ini juga harapan kita terjadi di warga-warga banjar yang ada di Kota Denpasar. Sehingga kegiatan seperti ini meringankan tidak hanya beban pemerintah secara umum, juga beban masing-masing keluarga yang ada di krama tersebut,” terang Jaya Negara. (Asmara Putera/balipost)