Oleh I Gusti Ketut Widana
Mengacu Tri Kerangka Agama Hindu, tahapannya dimulai dari Tattwa (teologi, filosofi, mitologi), lanjut diperilakukan berlandaskan Susila (etika) dan kemudian diwujudnyatakan melalui Acara ; ada upacara, lengkap dengan upakara, berbahan uparengga (material) dengan hasil berupa tampilan berbagai aneka jenis sesaji (bebanten). Serupa dengan pandangan Koentjaraningrat (1995) perihal (3) tiga wujud kebudayaan, bahwa segala sesuatu itu diawali dari cetusan ide/gagasan lalu diperilakukan sampai akhirnya berwujud benda (artefak). Ilustrasinya, ketika seseorang mempunyai ide membuat Penjor misalnya, mewujudkannya diperlukan berbagai tindakan (mengumpulkan bahan kelengkapan), baru dikonstruksi hingga menjadi Penjor.
Begitupun setiap aktivitas ritual Hindu seperti halnya hari suci Kuningan, kelanjutan rangkaian Galungan yang sebenarnya memiliki durasi pelaksanaan selama enam puluh (60) hari. Dimulai Tumpek Wariga/Tumpek Bubuh (25 hari sebelum Galungan) hingga Budha Kliwon Pegat Wakan (35 hari pasca Galungan) sebagai penutup ritual. Kesemua rangkaian upacara yadnya terkait Galungan-Kuningan ini mengandung nilai Tattwa dan Susila, meski kebanyakan umat hanya mengetahui dan melaksanakannya dari sisi Acara atau ritual semata. Anggapannya, dibalik ritual simbolik upakara bebanten, secara implisit sudah terkandung makna tattwa dan susilanya. Jika lebih jauh ditanya, umumnya dijawab dengan gugon tuwon anak mule keto, sebagai isyarat untuk tidak perlu menanyakan lagi secara mendalam.
Setali tiga uang dengan ritual Kuningan, lazim dipahami sebagai rangkaian akhir pelaksanaan Galungan. Apalagi merujuk suratan lontar Sundarigama : “Saniscara Kliwon Kuningan tumurun wateki dewata kabeh mwang sang Dewa Pitara, asuci laksana, pakenanya ngening-ngening akna citta nirmala tan pegating samadhi….” (Sabtu Kliwon Kuningan, saat itu turun para Dewata dan roh-roh suci leluhur, sucikanlah perbuatan, selalu memurnikan diri, menyucikan pikiran tiada henti memusatkan pikiran pada Tuhan (samadhi)”. Usai menerima persembahan dan memberikan anugerah Beliau digambarkan akan kembali menuju Kahyangan (Swah loka). Meninggalkan umat manusia untuk selanjutnya bertanggung jawab atas kehidupannya di muka bumi ini.
Dalam konteks pemahaman personal God (Saguna Brahman) timbul pertanyaan, “sepeningggal” Tuhan, akankah manusia kehilangan spirit ketuhanannya? Beragama tetapi menjauh dari karakteristik dharma yang kental dengan sifat kedewataan (daiwi sampat). Atau justru yang tampil dan eksis sifat dan watak adharma berkarakter keraksasaan (asuri sampat)? Saat hari suci Kuningan pada Sabtu Kliwon wuku Kuningan (12/8) inilah menjadi momentum penting bagi umat Hindu untuk lebih menguatkan posisi dharma dalam diri agar tidak mudah rapuh apalagi sampai runtuh dikendalikan adharma. Hanya dengan begitu, obsesi menaikkan derajat dan harkat sebagai manusia (manawa) meningkat ke level Dewata (madhawa) dapat tercapai, tidak malah terjerembab bertransformasi sebagai sosok bertipikal raksasa (danawa).
Membiarkan karakter danawa membelenggu sama artinya dengan menenggelamkan diri pada kubangan adharma yang sebenarnya ketika hari suci Galungan (10 hari lalu) telah diproklamirkan sebagai hari kemenangan dharma. Identik sebagai hari kemerdekaan, terbebasnya umat Hindu dari segala bentuk penjajahan adharma dengan segala manifestasinya.
Untuk menguatkan dharma itulah, pada pelaksanaan ritual suci Kuningan ditampilkan piranti-piranti spesifik sebagai simbol pembekalan diri, seperti Tamiang, Ter, Endongan, dan Sampian Gantung. Tamiang, semacam tameng atau perisai, simbol perlindungan diri dari segala macam gangguan, ancaman atau bahkan serangan. Ter, berbentuk anak panah, simbol ketajaman idep (pikiran), yang apabila digunakan dengan baik dan benar dapat ngidupin idup (menghidupkan kehidupan).
Lalu Endongan, serupa dengan tas (kompek) simbol perbekalan yang tiada lain penguasaan ilmu pengetahuan (dan teknologi). Terakhir, Sampian Gantung, simbol penolak bala (mala), baik yang bersifat sakala (lahir) maupun niskala (batin). Berbekal aneka macam simbol perangkat perjuangan itu pelaksanaan hari suci Kuningan yang dicirikan dengan ornamen serba kuning dapat dijadikan sebagai momentum kesadaran bagi umat untuk tiada henti menguatkan eksistensi dharma dalam diri guna terus mewaspadai, menghadapi, mengalahkan sekaligus mengenyahkan adharma yang setiap saat mengintai dan menanti kesempatan membalikkan keadaan. Meski pada akhirnya dharma tetap akan menang -–satyam eva jayate nanrtam.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar