Warga melestarikan tradisi patus yang merupakan warisan dari leluhurnya. (BP/Istimewa)

AMLAPURA, BALIPOST.com – Setiap desa adat yang ada di Kabupaten Karangasem memiliki berbagai macam tradisi secara turun temurun yang hingga kini masih tetap dilestarikan oleh warganya. Seperti yang dilakukan oleh Desa Adat Bukit Galah yang ada di Banjar Dinas Sogra, Desa Sebudi, Selat, Karangasem ini.

Warga setempat hingga saat ini masih tetap melestarikan tradisi patus yang merupakan warisan dari leluhurnya terdahulu. Bendesa Adat Bukit Galah I Putu Suyasa, mengungkapkan, tradisi patus ini sudah ada sebelum Gunung Agung meletus pada 1963 lalu.

Baca juga:  Kolintang Resmi Jadi WBTB Dunia, Yuk Kenalan dengan Alat Musik Ikonik Sulawesi Utara Ini

Tradisi Patus ini yakni tradisi gotong-royong membajak lahan tegalan. “Organisasi gotong-royong awalnya beranggotakan sebanyak 10 orang, namun seiring berjalannya waktu jumlahnya bertambah menjadi 16 orang,” ucapnya.

Suyasa mengatakan dulunya warga melakukan gotong-royong membajak tegalan, akan tetapi karena saat ini lahan tegalan sudah menipis akibat terjadilah perubahan. Sehingga gotong royong membajak tegalan ini berubah menjadi gotong-royong membuat rumah dengan jumlah anggotanya masih tetap seperti itu.

“Setiap anggota yang mau buat rumah, tinggal mesuaka ke ketua patus. Nantinya ketua akan menyampaikan ke seluruh anggota. Tapi, seiring berjalannya waktu terus mengalami perubahan. Bahkan, dari gotong royong membajak lahan tegalan sampai gotong royong membuat rumah, dan sejak tahun 2010 sampai sekarang ini berubah menjadi gotong royong dalam acara yadnya. Yakni, mulai dari upacara pitra yadnya, manusa yadnya, serta buta yadnya,” katanya.

Baca juga:  Jelang KTT G20, Desa Adat Tuban Kerahkan Ratusan Pecalang

Menurut Suyasa, bila ada anggota yang mempunyai acara tersebut, maka tinggal kontak ketua patus, dan nantinya semua anggota akan hadir mengerjakan segala hal kegiatan yang dilakukan tuan rumah yang memiliki kegiatan upacara untuk meringankan beban anggota. “Tradisi ini untuk mengikat tali persudaraan antar anggota yang didasari dengan rasa menyama braya. Dan tradisini ini sangat di taati oleh krama karena ada sangsi yang diberikan jika krama telat hadir, yakni dengan denda 1kg beras. Sementara kalau sama sekali tidak hadir akan ditandai 2 kg beras,” jelas Suyasa. (Eka Parananda/balipost)

Baca juga:  Pemimpin Bali Harus Kreatif Bangun Kecerdasan Manusia Bali
BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *