Oleh I Made Bram Sarjana
Sejarah mencatat berbagai bangsa asing pernah bercokol di bumi Nusantara, seperti Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris, Belanda dan Jepang. Momentum untuk merebut kemerdekaan dari penjajah terjadi ketika Jepang dibom atom Amerika Serikat pada 6 dan 9 Agustus 1945 sebagai bentuk serangan balasan atas penyerangan Jepang terhadap pangkalan laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada 7 Desember 1941.
Atas nama Bangsa Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang meliputi seluruh wilayah bekas jajahan Belanda (Hindia-Belanda). Setelah proklamasi, berbagai pertempuran dan perundingan masih terus berlangsung karena Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa sejak dahulu Indonesia telah menjadi bagian dari percaturan politik internasional. Kondisi ini terjadi karena kekayaan alam Indonesia yang demikian berlimpah dan posisi geografis Indonesia yang strategis. Kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan hidup mati seluruh rakyat Indonesia.
Kemerdekaan ini tidak akan tercapai bila bangsa Indonesia tidak merebutnya dari para penjajah. Semangat berjuang ini yang penting untuk terus digelorakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Untuk itu, memori dan berbagai catatan sejarah tentang proses perjalanan panjang mencapai kemerdekaan harus dijaga dan disampaikan antar generasi.
Hans Morgenthau, salah satu pendukung paradigma realisme politik, dalam Politics Among Nations (1948) mengemukakan bahwa hubungan internasional semata-mata adalah perjuangan untuk meraih kekuasaan (struggle for power). Saat ini, paradigma tersebut masih relevan, mengingat peperangan hingga saat ini masih berlangsung di berbagai belahan dunia. Bentuk peperangan ini semakin beragam dan berbeda, namun tujuan akhirnya tetaplah kekuasaan.
Sebagaimana diungkapkan Joseph Nye pada akhir 1980-an, instrumen yang digunakan untuk meraih kekuasaan dapat berwujud hard power yaitu kekuatan militer. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) telah membuat pertarungan meraih kekuasan memasuki era baru, melalui soft power, antara lain melalui kekuatan ekonomi, budaya dan media sosial yang menyerang kekuatan budaya dan ideologi bangsa. Kini dengan dukungan teknologi digital, baik hard power maupun soft power menjadi semakin canggih dan kompleks. Berkaca pada paradigme realisme politik tersebut, bukan berarti Indonesia harus menjadi negara fasis, melainkan selalu mewaspadai berbagai ancaman atas kedaulatan Indonesia.
Di Indonesia, pemerintah mengajarkan tentang perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan bangsa penjajah. Tujuannya agar setiap bangsa Indonesia tidak lupa dengan sejarah dan bisa belajar dari sejarah. Kesadaran atas sejarah penting untuk menjaga marwah kemerdekaan Indonesia, bahwa kemerdekaan Indonesia adalah sakral karena merupakan anugerah Tuhan yang Maha Esa yang diraih melalui perjuangan berdarah, bukan karena hadiah atau belas kasihan dari penjajah. Tentu menarik untuk diketahui, bagaimana pemerintah dari negara-negara yang pernah menjajah Indonesia mengajarkan sejarah perjalanan bangsanya kepada warganya.
Apakah mereka menulis tentang sejarah sepak terjangnya di Indonesia? Apakah Belanda mengajarkan kepada warganya bahwa mereka pernah menjajah Indonesia? Apakah Jepang mengajarkan kepada warganya bahwa Jepang pernah menjajah Indonesia? Ini patut diragukan. Oleh sebab itu, seperti halnya perjuangan meraih kemerdekaan, maka tidak ada yang bisa menjaga marwah kemerdekaan dan martabat Indonesia selain bangsa Indonesia sendiri.
Pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa Indonesia selalu menjadi bagian dari percaturan politik internasional dan menjadi incaran penaklukan bangsa asing. Belajar pula dari pengalaman bangsa lain, kekuatan negara dibangun oleh kekuatan ideologi, iptek, riset dan inovasi. Ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa, kekuatan iptek serta riset dan inovasi menjadi instrumen penting untuk menjaga marwah kemerdekaan Indonesia menghadapi pertempuran pada era baru.
Penulis, Analis Kebijakan pada Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Kabupaten Badung