Oleh R Wulandari
Resiliensi sektor pangan dibutuhkan dalam menghadapi dampak perubahan iklim, agar ketersediaan bahan pangan tidak sampai terganggu. Sebuah laporan berjudul A Degree of Concern: Why Global Temperatures Matter, yang dirilis Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), pada tahun 2019 lalu, menyebut bahwa peningkatan pemanasan Bumi sebesar 2 derajat Celcius akan menyebabkan beberapa tempat di bumi mengalami peningkatan hujan lebat terutama di lintang tinggi belahan bumi utara (Alaska, Kanada Barat, Kanada Timur, Greenland, Islandia, Eropa Utara, Asia Utara); daerah pegunungan seperti dataran tinggi Tibet; Asia Tenggara; dan Amerika Utara bagian timur, dengan risiko banjir yang lebih tinggi.
Selain itu, lebih banyak wilayah daratan di bumi juga akan terpengaruh oleh banjir dan peningkatan air limpasan. Curah hujan deras dari siklon tropis diperkirakan akan semakin tinggi.
Adapun peningkatan pemanasan bumi sekitar 1,5ºC akan menyebabkan 6 persen serangga, 8 persen tumbuhan, dan 4 persen vertebrata akan berkurang rentang geografisnya hingga lebih dari setengahnya. Sedangkan jika peningkatan pemanasan bumi mencapai 2ºC, angka-angka tadi melonjak menjadi 18 persen, 16 persen, dan 8 persen. Konsekuensi dari perubahan rentang geografis tersebut bisa jadi sangat besar.
Risiko kebakaran hutan, kejadian cuaca ekstrem, dan keberadaan spesies invasif diperkirakan akan semakin tinggi apabila pemanasan bumi sampai bertambah 2ºC. Diproyeksikan pula seluruh ekosistem akan berubah, dengan sekitar 13 persen wilayah daratan mengalami pergeseran ekosistem dari satu jenis bioma ke bioma lain pada pemanasan 2ºC.
Sementara itu, penambahan pemanasan bumi mulai dari 1,5ºC hingga 2ºC akan menyebabkan pula pengurangan biomassa hutan hujan tropis dan akan meningkatkan deforestasi dan kebakaran hutan. Di bagian lain, laporan NASA itu juga menyebutkan bahwa permukaan laut akan terus naik, karena panas yang telah tersimpan di lautan dari pemanasan yang disebabkan oleh manusia menyebabkan air laut mengembang.
Menurut NASA, jika pemanasan bumi bertambah sekitar 2ºC, lebih dari 70 persen garis pantai bumi diperkirakan akan mengalami kenaikan permukaan laut hingga lebih dari 0,66 kaki (0,2 meter), yang mengakibatkan peningkatan banjir pesisir, erosi pantai, salinisasi sumber air, dan dampak lain pada manusia dan sistem ekologi.
Konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut boleh jadi sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan sehari-hari kita. Salah satunya yaitu dapat mengganggu proses produksi bahan pangan dan ketersediaan bahan pangan.
Faktanya, munculnya cuaca ekstrem yang mengakibatkan kemarau panjang serta peningkatan curah hujan di berbagai belahan dunia telah mengganggu pola tanam dan panen para petani. Ini pada gilirannya mengganggu rantai pasokan bahan pangan. Pada saat yang sama, meningkatnya temperatur global telah menyebabkan penurunan panen sejumlah komoditas pertanian (Zhao et al, 2017).
Organisasi Pangan Dunia (FAO) telah berulang kali mengingatkan soal krisis pangan yang dapat dipicu oleh perubahan iklim. Salah satu kajian FAO, misalnya, memprediksi bahwa akibat perubahan iklim, Pulau Jawa akan mengalami penurunan produksi pertanian sebesar 5 persen pada tahun 2025 dan penurunan 10 persen pada tahun 2050.
Menyiapkan Strategi
Strategi perlu kita persiapkan untuk mengatasi ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim. Membangun resiliensi sistem pangan adalah keniscayaan dalam menghadapi perubahan iklim. Salah satunya yaitu dengan menjaga ketersediaan air. Seperti kita ketahui, air adalah elemen penting dalam proses produksi bahan pangan. Peningkatan teknologi irigasi, untuk menjaga ketersediaan air demi mengantisipasi kemarau panjang akibat cuaca ekstrem, sangat perlu dilakukan.
Pemanfaatan robot di sektor pertanian untuk meningkatkan produksi pertanian serta untuk penghematan air dan sekaligus meminimalisir emisi gas rumah kaca dan zat polutan lainnya seyogianya mulai dijajaki.
Pengembangan varietas tanaman pangan mesti pula diupayakan. Menghadapi kian seringnya kemunculan cuaca ekstrem dan kecenderungan terus meningkatnya temperatur bumi, kita membutuhkan varietas tanaman pangan yang memiliki toleransi lingkungan cukup tinggi.
Diversifikasi bahan pangan pokok jangan pernah dikesampingkan. Kita tidak boleh terus melulu bergantung pada beras. Ketergantungan kita yang cukup tinggi pada beras akan dengan mudah menjerumuskan kita ke jurang krisis pangan di masa depan. Bahan-bahan pangan lokal non-beras perlu kita usahakan sebagai substitusi beras. Sudah waktunya sekarang ini membuang pola pikir lama bahwa beras adalah satu-satunya makanan pokok kita. Riset-riset untuk menemukan dan membudidayakan sumber-sumber pangan baru perlu digiatkan.
Pangan merupakan kebutuhan utama umat manusia di mana pun. Tanpa pangan, kita tak mungkin survive, baik sebagai individu maupun sebagai sebuah bangsa. Ketersediaan bahan pangan harus selalu memadai. Ancaman terhadap ketersediaan pangan akibat perubahan iklim mesti mampu kita atasi dengan membangun resiliensi sistem pangan yang benar-benar prima.
Penulis, Pemerhati Isu Lingkungan dan Bisnis Berkelanjutan