Oleh I Gusti Ketut Widana
Luar biasa, lebih tepat lagi disebut diluar kebiasaan, ritual Pasupati yang biasanya tertuju pada benda-benda material yang secara artifisial dikonstruk sedemikian rupa agar memiliki kekuatan magical-spiritual berdimensi transcendental, seperti palawatan barong atau rangda, kini “Haluan Pembangunan Bali 100 Tahun di-Pasupati” (BP, 22/8). Jika ditelisik, apa saja sebenarnya wujud yang lazim di-Pasupati, setidaknya ada empat (4) katagori : 1) berwujud sosok, seperti palawatan/tapakan (barong, rangda, pratima/pralingga, arca; 2) senjata (keris, tombak, dan sejenisnya); 3) benda lainnya (cincin, bendera, gelungan, busana, dupa, pusaka, dll ; 4) aksara (sesuratan), seperti lelintihan, babad, purana, lontar, termasuk perarem atau awig-awig, dan kini dokumen (tertulis) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2023 tentang Haluan Pembangunan Bali Masa Depan, 100 Tahun Bali Era Baru 2025-2125 juga turut dipasupati.
Adakah yang salah ?. Jelas tidak, cuma tidak lumrah, lantaran sesuratan (ilikita) dalam bentuk regulasi itu merupakan produk keputusan politik (saat ini), sementara upacara Pasupati lebih dimaksudkan sebagai ritual memohon berkah kepada Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Hyang Pasupati agar dapat menghidupkan atau memberikan kekuatan magico-religio (taksu) terhadap suatu objek tertentu sehingga bersifat sakral (pingit/tenget), dan kemudian dijadikan “bangket” (pengingat) sekaligus “piteket” (pedoman/tuntunan) dalam berkehidupan.
Menelisik asal usulnya, kata Pasupati dalam bahasa Sanskerta berasal dari kata “Pasu” (binatang) dan “Pati” (raja atau menguasai). Hyang Pasupati adalah penguasa satwa dan raksasa. Tujuan hidup manusia adalah meningkatkan kemampuan diri untuk menguatkan kecenderungan kedewaan (daiwi sampat) guna meredam atau memadamkan pengaruh sifat keraksasaan (asuri sampat). Dengan demikian maksud memuja Sanghyang Pasupati adalah untuk mendapatkan kekuatan guna menguasai sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan yang acapkali menguasai diri manusia dan kemudian menjerumuskannya pada berbagai macam tindakan melanggar ajaran dharma seperti nitya wacana — tidak setia terhadap apa yang sudah dinyatakan sebagai Pangeling-eling atau Dharma Pamiteket.
Atas dasar itulah rupanya perlu dilakukan upacara Pasupati (sakralisasi) terhadap “Haluan Pembangunan Bali Masa Depan, 100 Tahun Bali Era Baru 2025-2125” . Menjadikan dokumen regulasi tersebut memiliki “energi magi” bernuansa religi serta berdimensi sakala (dunia) dan niskala (akhirat). Secara sakala ditaati implementasinya oleh seluruh pemimpin Bali, mulai dari tingkat Provinsi hingga Kabupaten/Kota. Sedangkan secara niskala, terkait pertanggungjawabannya akan “berhadapan” langsung dengan kekuatan supra empiris – Adikodrati – Hyang Widhi/ Hyang Pasupati itu sendiri. Lebih-lebih dalam upacara Pasupati tersebut telah mendapat persaksian dari Tri Upasaksi; Dewa Saksi (Hyang Widhi/Hyang Pasupati dan Ida Bhatara kabeh), Manusa Saksi (unsur Sulinggih, Gubernur, Bupati, dan pejabat terkait lainnya), dan Bhuta Saksi, segenap unsur alam (sarwa Bhuta) yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kepercayaan (teologi) Hindu.
Kekuatan Pasupati itulah kemudian menjadi Pangeling-eling atau Dharma Pamiteket, bagi pemimpin Bali (eksekutif dan legislatif) untuk wajib melaksanakan Haluan Pembangunan Bali dengan penuh kesadaran, disiplin dan rasa tanggungjawab (point ke- 6). Jika mengingkari, konsekuensinya tidak akan mendapat restu Ida Bhatara Sasuhunan, Ida Dalem Raja-raja Bali, Guru-guru Suci, Leluhur dan Lelangit Bali, dan tidak akan menemukan jalan baik dalam kepemimpinannya, serta tidak berhasil mewujudkan kehidupan masyarakat Bali yang sejahtera dan bahagia sakala-niskala (point ke- 8).
Hanya saja patut disadari, yang namanya regulasi itu adalah produk keputusan politik yang secara periodik (lima tahunan) bisa berubah melalui pesta demokrasi yang sangat dipengaruhi proporsi statistik demografi lewat konstituen (pemilih). Bisa saja suatu saat nanti pemimpin Bali berasal dari warga non Bali (Hindu), setidaknya sudah terbukti satu kursi anggota DPD utusan Bali saat ini sudah berhasil direbut. Pertanyaan kritis bernada skeptis, prejudis plus sinis, bagaimanakah komitmen dan konsistensinya terhadap aktualisasi isi Haluan Pembangunan Bali yang dirancang sampai 100 tahun nanti yang sarat spirit kebalian dan kehinduan sebagai taksu (roh/jiwa) Bali sejak dulu hingga kini?
Penulis, Dosen UNHI Denpasar