I Wayan Sastra Gunada. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Sastra Gunada 

Saat ini manusia hidup di masa globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Perkembangan IPTEK yang demikian pesat tersebut berhasil menghapus sekat-sekat komunikasi yang awalnya terbelenggu batas-batas wilayah geografis.

Selain itu, rintangan komunikasi akibat perbedaan bahasa antar negara pun berhasil diruntuhkan dengan hadirnya perangkat atau aplikasi alih bahasa. Sehingga, tidak dapat dinafikan bahwa era globalisasi, dengan internet sebagai mahkotanya, memberikan manusia beragam kemudahan untuk menegaskan perannya sebagai makhluk sosial dengan selalu terhubung satu sama lainnya melalui pertukaran informasi.

Sebagai dampak globalisasi, pertumbuhan pengguna internet semakin hari semakin bertambah pesat. Dikutip dari laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), 77% populasi Indonesia atau mencapai 212,9 juta orang menjadi pengguna internet aktif per Januari 2023 (https://www.kominfo.go.id/). Angka ini secara tidak langsung menegaskan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia telah menjadi bagian dari komunitas digital dunia.

Lahirnya media sosial yang semakin menjamur saat ini memerlukan pengetahuan dan kecakapan dalam pemanfaatannya. Hal ini penting agar ruang media sosial termanfaatkan secara bijaksana untuk menebarkan hal-hal positif dan bermanfaat. Namun, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia saat ini nampaknya belum mampu untuk mengejar laju pertumbuhan media sosial. Dikutip dari laman web Dirjen APTIKA Kominfo, indeks literasi digital masyarakat Indonesia tahun ini masih berada pada level sedang (3,54 poin) (https://aptika.kominfo.go.id).

Salah satu polutan di ruang media sosial yang tren beberapa tahun belakangan adalah berita bohong (hoaks). Merebaknya hoaks yang mencemari ruang media sosial tersebut merupakan bukti nyata pertumbuhan pengguna media sosial yang demikian pesat yang tidak diimbangi dengan tingkat literasi digital yang memadai. Selama kurun waktu 3 tahun mulai Agustus 2018 hingga awal 2022, Kominfo menemukan 9.546 konten hoaks tersebar di berbagai platform media sosial di Internet (https://bisnis.tempo.co/). Sementara itu, secara lebih spesifik yakni pada periode 23 Januari hingga 27 Desember 2021 ditemukan total sebaran 5.311 konten hoaks terkait Covid-19. Dari total sebaran tersebut, terbanyak ditemukan di Facebook (4.610), kemudian secara berturut-turut di Twitter (572), YouTube (55), Instagram (49), dan TikTok (25) (https://tekno.sindonews.com/).

Baca juga:  Satu SMKN di Jembrana Kelebihan Siswa Karena Membludaknya Jalur Afirmasi

Fakta tersebut menjadi semakin memprihatinkan dengan adanya berbagai pemberitaan yang melaporkan bahwa adanya oknum-oknum guru yang terlibat menyebarkan hoaks. Walaupun guru juga manusia yang tidak luput dari kesalahan, tetapi hal ini juga bukan prestasi yang patut dibanggakan. Mengapa demikian? Karena alih-alih menyebarkan hoaks, guru semestinya mengoptimalkan perannya untuk menanamkan etika dan menyaring informasi dalam berkomunikasi langsung maupun melalui media sosial kepada siswa. Lalu, dengan cara apa literasi digital guru dan siswa mesti dikuatkan?

Upaya penguatan literasi digital tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan digital. Saat ini masyarakat Indonesia tercatat amat aktif dalam menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, bisnis, ataupun sekadar berbagi cerita terkait aktivitas sehari-hari. Jumlah pengguna aktif media sosial terus bertambah secara signifikan setiap tahunnya. Menurut data terkini, Indonesia menduduki urutan ke-4 sebagai negara dengan jumlah pengguna media sosial terbanyak pada tahun 2022.

Pemanfaatan media sosial sebagai ruang untuk menguatkan literasi digital guru dan siswa merupakan upaya yang rasional. Hasil survei yang dilakukan oleh JakPat dengan melibatkan 2.387 responden yang aktif mengakses media sosial menunjukkan hasil yang menarik. Preferensi masyarakat Indonesia dalam menggunakan platform media sosial ternyata bervariasi, yakni Facebook sejumlah 75% (rentang usia 24-44 tahun), Instagram sejumlah 79% (15-29 tahun), TikTok sejumlah 52% (15-24 tahun), Twitter sejumlah 32% (15-29 tahun), dan YouTube sejumlah 87% (semua rentang usia) (https://www.goodnewsfromindonesia.id/). Hasil survei tersebut jelas menunjukkan bahwa rentang usia pengguna platform media sosial mengakomodasi usia guru dan siswa. Untuk siswa, setidaknya telah mengakomodasi paling muda pada jenjang SMP. Sehingga, penguatan literasi digital utamanya bagi guru dan siswa menjadi lebih tepat sasaran dilakukan melalui media sosial.

Baca juga:  Bali Perlu ‘’Treatment’’ Khusus

Selain itu, paparan di atas jelas mengisyaratkan bahwa menguatkan literasi digital melalui pemanfaatan media sosial bagi guru dan siswa memiliki potensi keberhasilan yang tinggi. Selain dari segi rentang usia pengguna yang secara jelas mengakomodasi usia guru dan siswa, durasi waktu penggunaan media sosial yang tergolong tinggi di dunia juga memberikan manfaat tersendiri.

Pengguna media sosial utamanya guru dan siswa memiliki kesempatan yang lebih lama untuk mengonsumsi informasi yang terunggah di media sosial. Lalu, bagaimana sebaiknya memanfaatkan berbagai macam media sosial yang ada tersebut? Setiap jenis media sosial memiliki basis dan jumlah pengguna yang beragam antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan data persentase penggunaan media sosial di atas, terlihat bahwa YouTube memiliki persentase pengguna yang tertinggi kemudian secara berturut-turut disusul oleh Instagram, Facebook, TikTok, dan Twitter. Sehingga, segala hal terkait dengan upaya penguatan literasi digital bagi guru dan siswa melalui media sosial tersebut harus mempertimbangkan data di atas.

Selanjutnya, apa langkah praktis yang bisa dilakukan dengan media sosial tersebut untuk menguatkan literasi digital utamanya bagi guru dan siswa? Ada sejumlah kegiatan yang bisa dilakukan sebagai upaya penguatan literasi digital melalui media sosial tersebut. Pertama, mengunggah media edukasi berupa foto/infografis ke media sosial. Media yang baik adalah media yang dapat menarik perhatian para pengguna sehingga mau menyimak informasi yang disajikan dalam foto/infografis tersebut. Kedua, mengunggah contoh-contoh hoaks atau konten negatif lainnya yang harus diwaspadai oleh para pengguna media sosial. Ketiga, mengunggah media edukasi selain foto/infografis yakni berupa video, seperti video kesaksian korban hoaks. Keempat, akun media sosial terutama yang dimiliki oleh otoritas yang berwajib menertibkan ruang-ruang digital harus lebih berperan aktif memberikan tanggapan terhadap hoaks atau bentuk kiriman negatif lainnya dari suatu akun dengan fakta dan narasi yang konstruktif. Kelima, untuk lebih memfokuskan pada sasaran yakni guru dan siswa, pihak-pihak yang memiliki otoritas atau yang terafiliasi dengan bidang komunikasi dan informatika dapat mengadakan webinar terkait dengan literasi digital melibatkan guru dan siswa.

Baca juga:  Tekan Penyimpangan Penggunaan HP, FFPG Digelar

Untuk optimalisasi hasil, konten yang diunggah pada media sosial yang dimaksudkan sebagai bentuk sosialisasi ataupun klarifikasi juga harus diberikan perhatian yang serius. Beberapa topik materi yang mesti dijadikan sebagai konten literasi digital diantaranya adalah etika berinternet; bermedia sosial, pengertian hoaks, jenis-jenis hoaks, dampak hoaks, kiat-kiat mengenali hoaks, modus-modus hoaks terkini, dan contoh-contoh hoaks.

Namun demikian, untuk bisa mengunggah materi sebagai upaya penguatan literasi digital tersebut, maka para stakeholders utamanya Kominfo harus memiliki akun pada setiap platform media sosial yang akan digunakan. Selain itu, untuk memperoleh jangkauan yang lebih luas, pemerintah dalam hal ini Kominfo juga dapat bekerjasama dengan para influencer atau public figure dalam melakukan diseminasi informasi.

Sehingga, selain mengarah pada sasaran yang tepat, jangkauan informasi juga semakin luas. Walaupun nampaknya hal tersebut telah dilakukan, namun masih perlu terus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas konten. Akhirnya, dengan berbagai upaya praktis penguatan literasi digital melalui media sosial utamanya bagi guru dan siswa tersebut diharapkan dapat menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan bebas dari hoaks.

Penulis, Guru Bahasa Inggris di SMPN Satu Atap 2 Batukandik

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *