Oleh Kadek Suartaya
Bagi masyarakat Bali, leak adalah bayang-bayang mistik yang masih terasa menguntit kehidupan modern masa kini. Teater Calonarang yang lazim mementaskan lakon-lakon bertema sihir, menjadi arena bagi masyarakat penonton menyimak penggambaran leak yang menakutkan itu. Salah satu figur ikonik yang selalu dihadirkan dalam seni pertunjukan tersebut adalah Rangda, berkarakter menyeramkan dengan kedua matanya melotot-menonjol keluar, bertaring panjang ke atas dan ke bawah disertai lidah menjuntai.
Secara dramatik, Rangda mengerang garang sebagai siluman dari Janda Dirah Ni Calonarang, penganut ilmu hitam yang memiliki banyak pengikut. Penampilan Rangda dan murid-muridnya yang menyeringai berupa aneka leak, menjadi daya magnet tersendiri pada seni pentas drama of magic Bali ini yang mengacu pada sastra sumber Lontar Calonarang, berseting zaman pemerintahan Raja Airlangga di Jawa Timur pada abad XI.
Pada hakikatnya, keberadaan Rangda ditakzimi sebagai benda sakral yang dipuja di Pura Dalem desa-desa di Bali. Namun, belakangan, Rangda yang di tengah penganut agama Hindu di Pulau Dewata dikeramatkan sebagai simbol Dewi Durga Sang Pelebur, tampak bergentayangan di Pulau Jawa. Keberadaan Rangda menyeruak masif di Jawa Timur dan Jawa Tengah, seperti dapat dipantau di media sosial YouTube, Tiktok, Instagram dan lain-lainnya. Penampilannya dipadukan dengan seni pertunjukan rakyat setempat. Para penonton dengan antusias menyaksikan tarian Rangda dengan sebutan leak.
Demikianlah, Rangda ditampilkan dalam acara hiburan komunal di pedesaan dan ada pula yang dipentaskan di atas panggung representatif. Kentara sekali, penampilan Rangda dimanfaatkan sebagai media sensasi permukaan. Gerak-gerik cara pembawaan para pelakunya, semaunya saja dan sekenanya, tak ada acuan estetik. Walau demikian, tampaknya manjur membuat penonton berdecak seru: leak, leak, leak, dengan rona girang.
Kelatahan menghadirkan nuansa kesenian beridentitas Bali dalam aksi pentas seni tradisi masyarakat Jawa tersebut, bukan hanya memboyong Rangda saja. Topeng ritual Sidakarya pun juga digaet. Tokoh Sidakarya yang penampilannya menjadi bagian penting prosesi upacara yang beratmosfer religius di Bali, dimunculkan sebagai tontonan enteng dan aneh.
Sederetan copy paste tari Bali tak hanya yang berkatagori wali alias sakral, namun juga pada seni pertunjukan balih-balihan. Tengoklah sekilas lenggak-lenggok tari Cendrawasih. Kreasi tari karya NLN Swasthi Widjaja Bandem yang melukiskan cinta asmara sejoli burung maskot Tanah Papua itu, sungguh menggelikan.
Demikian pula lenggang ngawur empat wanita yang menggunakan busana tari Legong Keraton yang tampak tanpa beban tampil di hadapan penontonnya. Jika semua “peminjaman” kesenian itu dipandang dari sisi subjektif-religiusitas, tradisi-budaya, dan nilai estetika masyarakat Bali, fenomena itu bak vandalisme, sebagai sebuah kecenderungan budaya urakan dalam laku berkesenian yang gegabah, seenaknya, aji mumpung, sembarang dan gagal paham.
Sejak lampau, Jawa dan Bali memiliki hubungan historis dan kultural begitu erat yang jejak-jejaknya diwarisi hingga kini, misalnya, dapat telusuri dalam khasanah karya sastra dan seni budaya. Karya sastra Calonarang, contohnya, diinternalisasi-lestarikan masyarakat Bali dalam seni pertunjukan. Rangda—figur sentral dramatari Calonarang–yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti janda, mengkrital dalam suatu capaian peradaban, disangga mitologi berbingkai teologi Hindu Bali. Karakterisasi wujud Rangda itu menguak dari sublimasi yang ditopang interpretasi-transedental insani kreatif manusia Bali. Jadi Rangda bukan sekadar fisikal-ekstrinsik. Dalam konteks sosio-relegi masyarakat Bali, Rangda adalah sebuah simbolisme bersifat instrinsik sarat nilai luhur.
Tampaknya, arus industri kebudayaan, diantaranya, menjadikan kesenian tradisi sebagai objek eksploitasi. Wabah budaya komoditi itulah yang kini sedang berdinamika di sejumlah tempat di Pulau Jawa berkaitan dengan digunakannya secara banal beberapa tari Bali dalam pagelaran seni pentas lokal setempat. Mungkin, tari Bali, dari persepsi para pegiat seni pentas setempat dan ditambah rasa keingintahuan sebagian penonton, menstimulasi begitu larisnya kesenian Bali melengkapi bahkan menjadi daya tarik utama maraknya gelar seni tersebut. Namun, seni sebagai industri hiburan, bukan berarti mengabaikan prinsip-prinsip estetika. Jika sebuah industri hiburan mengangkat atau memodivikasi tari daerah Nusantara tertentu, sudah semestinya mampu menunjukkan idiom khasnya atau kekentalan esensinya. Kiranya tak elok mentah-mentah memplagiat, tapi hasilnya gamang. Jika demikian adanya, lebih afdol mengedepankan dan mengelaborasi kekayaan asli warisan seni yang dikenali luar dalamnya.
Realitas bangsa majemuk ini wajib terus membuka ruang sikap toleransi. Syukur, tepo saliro itu telah ditunjukkan oleh masyarakat Bali dalam sejumlah dinamika sosial- politik dan kehidupan empirik. Terbukti, walau Rangda adalah benda suci yang disakralkan serta dipuja di setiap desa, namun pemanfaatannya sebagai atraksi vulgar dan ugal-ugalan oleh sebagian pegiat seni pentas di Pulau Jawa–bagi kebanyakan masyarakat Bali yang sempat melihat di layar handphone-nya—agaknya tenang-tenang saja, tak reaktif. Sama sekali tidak memunculkan ketersinggungan kolektif dengan mengatasnamakan pelecehan agama. Sikap toleran masyarakat Bali ini, jika peka, semestinya menggugah saudara sebangsa–mungkin sadar dan tak sadar yang semena-mena dan serampangan mengadopsi Rangda serta sejumlah tari Bali lainnya–untuk juga bijak toleran dalam euforia beraksi pentas hiburan. Agar sikap saling menghargai bertumbuh dan terkondisi di bumi Bhineka Tungga Ika ini, seharusnya pihak pemerintah dan lembaga terkaitnya, tanggap dan unjuk peduli. Jangan biarkan leak menyulut intoleransi.
Penulis, pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar