Unud Sebut SPI Berdasarkan Permendikbud

Oleh I Made Sarjana dan I Ketut Surya Diarta

Tanggal 29 September 2023 ini Univesitas Udayana (Unud) memasuki usia yang ke-61 tahun. Jika dianalogikan siklus hidup manusia, angka 61 seharusnya dia telah menunjukkan jati diri sebagai sosok yang matang.

Kematangan itu ditandai dengan bersikap dan bertindak lebih bijak sehingga yang bersangkutan menjadi figur yang disegani. Persoalannya Unud saat ini kerap dijadikan bahan gunjingan, atau celaan oleh sebagian oknum di tengah masyarakat yang sengaja ingin menghancurkan “harga diri” Unud untuk kepentingan tertentu.

Sebut saja, ketika ada kantor cabang pemerhati perempuan berdiri di daerah ini, secara mendadak mencuat hasil survei bahwa telah terjadi aksi kekerasan seksual di kampus tertua dan terbesar di Bali. Terlepas dari hasil survei itu valid atau perlu dipertanyakan metode penggalian dan analisis datanya, kalau dicermati isu kekerasan seksual itu telah mampu dikapitalisasi secara optimal sehingga lembaga yang baru diluncurkan itu dikenal publik.

Kedua, isu korupsi juga menjadi senjata ampuh menguncang eksistensi Unud terutama melemahkan modal sosial di kalangan civitas akademika. Dalam perspektif ilmu sosiologi, modal sosial digambarkan sebagai nilai-nilai informal yang dimiliki bersama oleh anggota kelompok yang saling terkait berdasarkan kepercayaan (trust), norma (norms), dan jejaring (networking). Ketidakpercayaan, ketidakpatuhan kepada norma sebagai pegangan hidup, dan rapuhnya jejaring antar pemangku kepentingan di Unud perlu direvitalisasi agar Unud kembali bangkit dan tampil elegan di tengah masyarakat.

Baca juga:  Direvitalisasi, Fungsi Terminal Jadi Pusat UMKM

Jika diselami secara mendalam guncangan-guncangan kecil mampu menyebar “penyakit” kepercayaan antar sesama warga Unud menurun. Misalnya, mencuatnya isu kekerasan seksual diartikan sebagai Unud secara melembaga tidak memiliki kepedulian terhadap kaum perempuan karenanya pimpinan Unud dituding melakukan pembiaran terhadap aktivitas kejahatan seksual di kampusnya.

Sejatinya, Unud telah berjuang dan fokus terhadap pemberdayaan perempuan melalui pembentukkan lembaga kajian pusat studi wanita (PSW) yang memiliki peran menjaring dan menyuarakan aspirasi perempuan setelah ditelaah atau dikaji secara seksama. Dalam hal ini aktivis perempuan di PSW yang bergerak sebagai bagian dari masyarakat ilmiah tentu mengedepan sikap rasional dalam menyikapi isu-isu perempuan bukan sekedar emosional apalagi berbau sensasional.

Dari aspek norma juga telah terjadi pergeseran dalam pemaknaannya dan perlu diluruskan agar tidak melenceng terlalu jauh merusak suasana akademis dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) yang unggul di Unud.  Civitas akademika baik mahasiswa, pegawai, dosen, bahkan alumni sebagai bagian dari keluarga besar Unud sepatutnya bersikap saling percaya dan menghargai satu sama lain. Dalam konteks ini, pihak rektorat dan jajarannya sebagai orangtua/kepala keluarga diposisikan sebagai orang dituakan dalam keluarganya. Lebih parah lagi ketika oknum aktivis mahasiswa membuat postingan di media sosial yang membangun citra buruk Unud di masyarakat. Sebut saja postingan BEM Unud saat pengumuman SBMPTN 2023 yang menyambut lulusan SMA yang diterima di Unud dengan untaian kalimat: “Selamat datang di kampus paling bermasalah di Indonesia,”.  Coba renungkan, wajarkah mahasiswa yang sedang kuliah di Unud menyatakan lembaganya seperti itu.

Baca juga:  Seniman Sepuh Bali Tut Wuri Handayani

Hemat penulis, sesama warga Unud mesti mengedepankan sikap saling menghormati dan menanggapi isu miring mengedepankan adat ketimuran serta menggunakan logika. Kiprah “raja-raja kecil” di fakultas yang ada dibawah Unud menjadi fakta kekeliruan dalam implementasi visi Unud oleh segelintir oknum. Biasanya mereka kurang mengindahkan kebijakan pimpinan Unud sehingga dalam pengelolaan fakultas/prodi tertentu tidak ditujukan untuk menunjang peningkatan kinerja Unud secara kelembagaan.

Sang raja kecil tentu akan riang gembira manakala sikapnya yang berseberangan dengan pimpinan Unud dianggap sebagai “prestasi” berani melawan “penguasa”. Selain itu, Unud sebagai institusi dibawah Kemdikbud RI, eksistensinya diukur dengan pencapaian Indikator  Kinerja  Utama (IKU) namun belum semua kalangan memiliki budaya “guyub” mendukung pencapaian IKU tersebut.  Jika ditelusuri pemenuhan IKU fakultas maupun IKU Unud merupakan tanggung jawab setiap orang yang berkiprah didalamnya.

Baca juga:  Perlindungan Bali Dari Dampak COVID-19

Jadi di usia ke-61 Unud, soliditas diantara warga Unud tidak boleh ditawar-tawar alias harga mati. Hal ini dibutuhkan agar kiprah Unud tetap direkognisi di tengah-tangah masyarakat. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam upaya merevitalisasi soliditas civitas akademika Unud. Pertama, menghilangkan kebiasaan “nyunjung satru ngadep roang” atau komunikasi yang terbiasa mem-bully sesama orang Unud karena mengganggap kualitasnya lebih jelek dari dirinya. Kedua, taat azas atau nilai dan norma yang dianut Unud yakni taki-takining sewaka guna widya yang dimaknai sebagai anggota komunitas yang berlatar belakang pendidikan tinggi sudah sepatutnya selalu bijak dalam berpikir, berkata, maupun berprilaku. Ketiga, menerapkan merit sistem tanpa mengsampingkan senioritas dalam batas yang tepat dan patut. Keempat, menyadari bahwa Unud adalah “kawitan” bersama. Merusak rumah sendiri sepatutnya dihindari dan civitas akademika siap berkontribusi mengembangkan Unud menjadi lebih besar dan maju.

Penulis, Pengurus Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Wilayah Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *