DENPASAR, BALIPOST.com – Kedudukan desa adat di Bali sebagai wadah adat, tradisi, seni budaya dan kearifan lokal Bali diperkuat oleh Gubernur Bali masa jabatan 2018-2023, Wayan Koster bersama Wakil Gubernur Bali, Tjok Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace).
Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh Wayan Koster – Cok Ace untuk memberikan legalitas terhadap keberadaan desa adat di Bali. Untuk itu, kebijakan yang telah digariskan oleh Wayan Koster ini diharapkan terus dilaksanakan dan dilanjutkan, serta diperkuat oleh Pj Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya. Sehingga, desa adat yang jumlahnya 1.493 di Bali ini terus menjadi benteng pertahan untuk menjaga budaya dan kearifan lokal Bali sebagai kekuatan pariwisata Bali.
Kepala Dinas PMA Provinsi Bali, I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra, mengungkapkan bahwa berbagai kebijakan telah dikeluarkan Wayan Koster – Cok Ace dalam upaya memperkuat kedudukan desa adat. Diantaranya, Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, Perda Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali, Pergub Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali, dan Pergub Nomor 26 Tahun 2020 tentang Sistem Pengamanan Lingkungan Terpadu Berbasis Desa Adat (Sipandu Beradat).
Yang tak kalah penting, dengan adanya UU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, semakin mengakui keberadaan adat istiadat, tradisi, seni budaya, dan kearifan lokal Bali, serta memberikan pengakuan terhadap keberadaan desa adat dan subak. Terlebih, desa adat ini masuk dalam Perda Haluan Pembangunan Bali Masa Depan, 100 Tahun Bali Era Baru 2025-2150.
Selain itu, lanjut Kartika Jaya Seputra, bahwa Wayan Koster – Cok Ace juga telah membentuk organisasi perangkat daerah (OPD) Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali atau satu – satunya di Indonesia. Di samping juga membangun Gedung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Bali, serta memberikan sarana dan prasarana berupa alat kerja, kendaraan dan staf sekretariat serta alokasi APBD Semesta Berencana dalam bentuk hibah.
Kartika Jaya Seputra, mengungkapkan bahwa desa adat di Bali memiliki tugas mewujudkan kasukretan desa adat yang meliputi ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian niskala-sakala. Desa adat juga merupakan wadah adat, tradisi, seni budaya dan kearifan lokal Bali. Dalam konteks ini, maka bersama MDA melaksanakan beberapa kegiatan untuk penguatan desa adat.
Dibidang kelembagaan, memastikan prajuru desa adat, kertha desa, dan sabha desa serta banjar adat melaksanakan tugas dan fungsinya dapat berjalan efektif. Lembaga paruman dan pasangkepan juga dapat dilaksanakan dangn baik. Mendorong penguatan perekonomian desa adat di sektor riil dengan membentuk BUPDA sesuai Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pedoman Mekanis, dan Pendirian BUPDA, yabg sesuai dengan pembangunan Bali “Nangun Sat Kethi Loka Bali” melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana Menuju Bali Era Baru. Di samping juga menerapkan sistem pengamanan lingkungan terpadu berbasis desa adat (Sipandu Beradat) sesuai Pergub Nomor 26 Tahun 2020, dan membangun kerjasama antar desa adat dan desa.
“Pemberdayaan dan pelestarian desa adat yang diarahkan untuk terwujudnya pembangunan kualitas kehidupan krama desa adat berdasarkan nilai-nilai adat agama tradisi budaya dan kearifan lokal Bali. Ngiring sareng sareng menjaga desa adat yg diwariskan oleh leluhur lelangit dan guru guru suci dengan semangat gilik saguluk atau kebersamaan, paras paro atau musyawarah, salunglung sabayantaka sarpana ya atau gotong royong guna mewujudkan kemadirian desa adat,” tandas Kartika Jaya Seputra.
Terkait BUPDA, dikatakan bahwa BUPDA sangat penting. Sebab, selain untuk memajukan perekonomian di desa adat, juga memiliki tujuan mulia untuk menggerakan kekuatan ekonomi Bali dengan memberdayakan krama desa adat demi terwujudnya kesejahteraan krama desa adat di Bali sesuai pelaksanaan Pergub Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali.
Terkait UU Provinsi Bali yang semakin mengakui keberadaan adat istiadat, tradisi, seni budaya, dan kearifan lokal Bali, serta memberikan pengakuan terhadap keberadaan desa adat dan subak, akademisi Hukum Universitas Warmadewa, Prof. Dr. I Nyoman Putu Budiartha, SH.,MH., mengatakan meskipun bukan UU khusus, namun dengan UU Nomor 15 Tahun 2023 ini, kini Bali lebih leluasa mengatur daerahnya sesuai dengan ciri khas dan potensi yang dimiliki. Sehingga, Pj Gubernur Bali dalam melaksanakan tugasnya mesti berpedoman pada UU Provinsi Bali ini dalam melaksanakan untuk membangun Bali ke depan. Apalagi dengan instrumen UU Provinsi Bali, pemerintah dan masyarakat Bali memiliki kewenangan/kemampuan/kesempatan untuk membangun Bali yang bercirikan Bali. Yaitu, Bali yang dikenal dengan adat istiadat, tradisi, seni budaya, dan kearifan lokalnya.
“Karena Bali merupakan barometer pariwisata Indonesia, dan bahkan dunia, maka memang wajar disendirikan Undang-Undangnya. Kemudian apa yang menjadi pijakan? tentu adalah adat, budaya dan alam. Jadi dengan alam yang demikian indah, dengan penduduk yang ramah tamah, dengan adat dan kebudayaan yang seperti itu, ini harus dilestarikan. Sehingga perlu dipayungi dengan sebuah Undang-Undang yang nanti oleh Pak Gubernur maupun bupati/walikota ditindak lanjuti dengan peraturan-peraturan lain,” tandas Dekan Fakultas Hukum Unwar ini.
Dengan demikian, jati diri Bali itu dapat dibangun dengan adat dan budaya yang Bali miliki. Apalagi, adat dan budaya Bali diakui oleh pemerintah berdasarkan UUD 1945. Sebab, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali ini bukan semata hanya untuk Bali saja, namun untuk NKRI. (Winata/Balipost)