I Kadek Satria, S.Ag.,M.Pd.H. (BP/Ist)

DENPASAR, BALIPOST.com – Rahina Tumpek Krulut telah diresmikan sebagai Hari Tresna Asih/Hari Kasih Sayang oleh Gubernur Bali masa jabatan 2018-2023, Wayan Koster. Ini seusai dengan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2022 tentang Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali berdasarkan Nilai-nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi dalam Bali Era Baru. Dijadikannya Rahina Tumpek Krulut sebagai Hari Tresna Asih/Kasih Sayang Dresta Bali merupakan bentuk komitmen nyata dari Wayan Koster dalam upaya pelestarian kebudayaan atau kearifan lokal Bali.

Akademisi Unhi Denpasar, I Kadek Satria, S.Ag.,M.Pd.H., mengatakan Tumpek Krulut dijadikan harinya Tresna Asih adalah upaya nyata dari ritual tumpek. Artinya bukan hanya ber-ritual, tetapi ada tindakan nyata melalui saling kasih dan menyayangi dengan segala makhluk kehidupan. Dipaparkan, bahwa istilah dari Tumpek Krulut diambil dari nama wuku (penanggalan Jawa dan Bali) berdasarkan kalender Bali, yaitu “lulut” yang memiliki makna jalinan atau rangkaian. Jadi Hari Tumpek Krulut merupakan wujud dari kasih sayang terhadap alat-alat seni berupa gamelan atau tetabuhan. Hari Tumpek Krulut jika dicermati secara mendalam sesungguhnya sebagai sarana memunculkan rasa saling asih, asah dan asuh diantara sesama manusia melalui sarana seni tetabuhan, hasil dari karya cipta Hyang Widhi yang membuat rasa tertarik, senang, dan terpesona dalam kehidupan. Sehingga, Tumpek Krulut diambil dari kata Krulut berasal dari kata lulut yang artinya senang atau cinta bisa disejajarkan dengan makna sayang cinta dan welas asih.

Baca juga:  Rayakan Hari Jadi Ke-8, The ONE Legian dan Hotel Vila Lumbung Menebar Inspirasi

Lebih jauh dipaparkan, bahwa pentingnya Tumpek Krulut sebagai hari pemuliaan cinta (Rahina Tresna Asih) dalam hidup, karena Rahina Tumpek Krulut adalah hari suci untuk mengupacarai alat tetabuhan atau gembelan, dengan memuja Ida Sang Hyang Iswara.

“Inilah pemaknaan tumpek krulut bahwa rasa-rasa yang ada mesti dimuliakan dengan upacara dan aksi nyata. Upacaranya adalah dengan ritual pada gambelan dan aksi nyatanya adalah cinta kasih terhadap diri, sesama dan lingkungan yang akan menghasilkan cinta kasih utama yaitu kepada Sang pencipta. Bahwa beliau penganugerah segala yang mesti disyukuri. Cinta bukan hanya persoalan ikatan laki perempuan atau bahkan libido seks semata. Lebih dari itu, cinta kasih adalah ungkapan kesadaran rasa syukur manusia atas hidup ini,” ujar Kadek Satria, Sabtu (16/9).

Baca juga:  Perayaan Hari Tumpek Wariga, Bupati Suwirta Ajak Masyarakat Jaga Keharmonisan dengan Alam

Lebih jauh dikatakan, bahwa jalinan instrumen gambelan tak bisa berdiri sendiri, namun gabungan atau lulut/jalinan/rangkaian inilah simbol penyatuan yang memunculkan nilai seni (Kasih). “Artinya penyatuan, ikatan, rangkaian yang terhubung inilah menghasilkan keindahan. Keterhubungan kita sebagai manusia dengan alam dan lingkungan serta sesama adalah bagian yang akan memunculkan keindahan hidup. Inilah sesungguhnya aksi nyata dari pemaknaan tumpek ini,” tandasnya.

Menurut Kadek Satria, cinta kasih dalam kaitanya Tumpek Krulut adalah menumbuhkan cinta universal, bahwa semua adalah saudara yang harus disayangi. Vasudewa kuthumbakam semua adalah saudara. Upaya pemerintah dengan mengaitkan dengan menguatkan hari suci kedalam bentuk nyata kepada alam dan lingkungan adalah hal yang sangat positif untuk menambah makna bahwa ritual hari suci bukan hanya ritual atau festival upacara, tetapi lebih dari itu adalah hari untuk pemuliaan dengan dasar cinta kasih sebagai kesadaran sebagai mahluk tuhan. Apalagi, Hindu terutama di Bali mengutamakan hari suci tumpek sebagai hari yang puncak. Puncak dari perhitungan panca wara dengan sapta wara, walau pada dasarnya tak bisa kita melihat ini sebagai puncak ataupun dasar atau awal. Namun dianggap hari inilah ada pertemuan puncak dan Tumpek krulut menjadi landasar puncak mempermulia diri dengan cinta kasih atau tresna asih,” pungkasnya.

Baca juga:  Pajak Kendaraan Bermotor Sumbang 75 Persen PAD Bali

Guru Besar Unhi Denpasar, Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si., mengatakan saat ini generasi muda Indonesia, termasuk generasi muda Bali cenderung menjadikan budaya barat sebagai pusat orientasi dan keteladanan. Sehingga, apapun yang dilakukan oleh masyarakat dunia barat dianggap sesuatu yang luar biasa. Sehingga, mengabaikan apa yang kita miliki di Bali sebagai sesuatu kearifan lokal yang adiluhung. Meskipun demikian, dengan adanya lembaga pendidikan tinggi berbasis agama Hindu dan budaya Bali, seperti Unhi Denpasar, UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, dan lainnya generasi muda Bali tidak terpengaruh sepenuhnya oleh budaya barat. Apalagi, saat Wayan Koster memimpin Bali nilai-nilai kearifan lokal Bali yang adiluhung dipertegas dengan berbagai kebijakan. Seperti halnya perayaan Hari Tumpek Krulut sebagai kasih sayang. Sebab, perayaan Hari Tumpek Krulut telah diresmikan sebagai Tresna Asih/Kasih Sayang Dresta Bali, sehingga setiap 6 bulan sekali generasi muda Bali merayakan Hari Tumpek Krulut sebagai hari kasih kasih. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *