A. A. Gede Indra Prathama. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Di usia muda yakni 26 tahun, Dr. A.A. Gede Agung Indra Prathama, S.H., M.H., bertekad terus mengisi diri hingga meraih guru besar. Ketua Bidang Hukum UPMI Bali ini termasuk dokter termuda alumni S-3 Prodi Hukum Unwar. S1 Ilmu Hukum diraih di Unud dan Magister Hukum di Univ. Mahendradatta.

Dosen Universitas Ngurah Rai dan advokat kelahiran di Denpasar, 2 Desember 1996 ini meneliti soal penguatan desa adat sebagai subjek hukum dalam pengelolaan usaha pariwisata di Bali. Penelitian ini bertolak dari adanya problematika filosofi, sosiologis, yuridis yang timbul dalam penyelenggaraan pariwisata di Bali.

Anak kedua pasangan Anak Agung Raka Arnawa, S.H., M.H., dan I Gusti Ayu Mas Sri Apsari, S.H., M.H., mengatakan secara ontologi, desa adat bertujuan agar adat dan agama Hindu tidak lemah dan masih hidup di masyarakat. Secara epistemologi kesatuan masyarakat hukum adat di Bali diakui.

Baca juga:  IMF-WB Diharapkan Tidak Mengganggu Aktivitas Masyarakat

Secara aksiologi, faktanya desa adat di Bali mengalami kelemahan sejak adanya pariwisata yaitu desa adat dapat berusaha di bidang pariwisata. Problematika sosiologi, bahwa desa adat sebagai subjek hukum dapat memiliki usaha pariwisata dan tidak lagi hanya bertujuan menjaga adat istiadat dan agama Hindu, secara nasional badan usaha telah ditetapkan di Indonesia.

Problematika yuridis, bahwa Undang-Undang 1945 Pasal 18 b ayat (2) yakni “Negara mengakui dan menghormati jesatuan-kesatuan Masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.” Berikutnya Undang-Undang nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan diatur pelestarian budaya dan jasa pariwisata.

 

Baca juga:  Program Berdayakan Desa Adat Dipayungi Regulasi Bentengi Bali dari Pengaruh Modernisasi

Masalahnya bagaimanakah hakikat penguatan desa adat sebagai subjek hukum dalam pengelolaan usaha pariwisata? Kata Indra, jawabnya adalah penguatan desa adat sebagai subjek hukum dalam pengelolaan usaha pariwisata.

Di dalam pengelolaan usaha pariwisata tetap mengacu pada awig-awig dan pararem mengingat diakuinya keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat. Oleh karena itu dalam pengelolaan usaha pariwisata wajib menjaga kelestarian fungsi lingkungan berdasarkan Tri Hita Karana.

Pengelolaan usaha pariwisata dapat dilakukan secara modern dengan pendirian pengelolaan usaha berbasis digital, pasar tradisional, pasar modern dengan branding desa adat. Bentuk penguatan desa adat dalam pengelolaan usaha pariwisata diperlukan regulasi kerja sama antara desa adat dan Pemerintah Provinsi Bali dalam bentuk bagi hasil serta desa adat memerlukan penguatan modal yang dibantu oleh LPD serta Kerjasama dengan Bank Indonesia.

Baca juga:  Pasien Sembuh Tambah Seratusan, Kasus Baru Juga Merangkak ke 3 Digit

Sedangkan dalam pengelolaan pariwisata diperlukan manajemen pengelolaan yang dikelola oleh desa adat dikendalikan oleh Bendesa Adat serta Prajuru Adat dengan membentuk Lembaga pengelolaan usaha pariwisata disingkat (LPUP). Standar pengelolaan tetap mengacu pada awig-awig yaitu tidak melakukan pencemaran kesucian pura, tidak melakukan pencemaran lingkungan, tetap menjaga sopan santun berbusana, tetap menjaga kebersihan lingkungan, tidak bersifat premanisme.

Standar ini dilengkapi dengan standar iuran, standar pelayanan, dan keamanan. Jika ada yang melanggar maka desa adat melalui bendesa adat dapat menjatuhkan penanjung batu (sanksi adat) yang dapat diuangkan sesuai dengan biaya upacara adat (mecaru) sehingga desa adat memiliki kekuatan hukum dalam hal menjaga kesucian pura, pelestarian lingkungan, dan bebas dari premanisme.

Dengan cara itu desa adat dapat memelihara keunikan objek pariwisata dan mengembangkan serta dapat memanfaatkan tanah-tanah milik desa adat sebagai penunjang usaha pariwisata. (Adv/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *