MANGUPURA, BALIPOST.com – Sejak setahun lalu, I Made Sudita (63), warga Kedonganan rajin memilah sampah yang ada di rumahnya. Anggota keluarga membuang sampah ke tong-tong kecil di beberapa sudut rumah.
Dari tong-tong kecil itulah Sudita memilah sampah menjadi tiga yaitu sampah organik, non-organik dan residu yang kemudian dibuang ke tong sampah lebih besar, pemberian Kedonganan Ngardi Resik (KNR), tempat pengelolaan sampah Desa Kedonganan, Badung bekerja sama dengan PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus.
Ditemui akhir bulan September lalu, Sudita pun tengah menjalankan kewajiban barunya itu. Tempat tinggalnya yang berada di zona I, merupakan pilot project pertama dari Kedonganan Ngardi Resik dalam rangka mengedukasi masyarakat memilah sampah.
Konsistensinya memilah sampah membuatnya memperoleh reward dari KNR berupa tirta yatra ke beberapa pura di Bali. Sebagai pamangku (pemuka agama), tentu reward tersebut tidak disia-siakannya.
Ia tak pernah berpikir akan mendapat reward, namun ia hanya ingin agar lingkungan tempat tinggalnya bersih dari sampah. “Jika dulu orang membuang sampah ke kebun tetangga atau teba, sekarang sudah tidak ada tempat membuang sampah. Sekarang untuk buang sampah tidak ada lahan. Kemana kita buang, karena sekarang sudah menjadi bangunan semua dan jalan umum. Apalagi sekarang Kedonganan juga ramai dengan wisatawan,” ungkapnya.
Sementara, kerisauan akan tumpukan sampah di jalan-jalan protokol di Kedonganan membuat pihak desa memutar otak agar sampah tersebut tak merusak pemandangan. Apalagi Bali kerap menjadi tempat perhelatan event-event internasional seperti G20 sehingga pemandangan tumpukan sampah tak elok jika dibiarkan.
Sekretaris Kedonganan Ngardi Resik (KNR) Made Sutarsa mengatakan, tumpukan sampah tidak hanya berasal dari warga Desa Kedonganan tapi juga dari warga desa lain.
Maka dari itu dibentuklah TPS3R KNR yang terletak cukup jauh dari pemukiman warga. Di sana, sampah diolah menjadi briket bioarang dan kompos trichoderma. Namun kata Sutarsa kunci operasional KNR terletak pada pemilahan sampah di hulu yaitu rumah tangga.
Kedonganan memiliki 2.500 KK, sementara kapasitas TPS3R KNR hanya mampu mengelola sampah untuk 450 KK. Oleh karena itu, pemilahan sampah sangat penting dilakukan agar sirkulasi pengelolaan sampah menjadi lebih cepat dan efisien.
Namun tantangan berat yang dihadapinya justru ada pada pemilahan sampah tersebut. Tidak banyak warga yang mau memilah sampah, entah karena jijik, tidak punya waktu, atau merasa belum penting.
Ia pun tak kehabisan akal. Sebanyak 130 KK dijadikan pilot project atau percontohan bagi warga lain agar mau memilah sampah. Warga yang tidak mau memilah, maka sampahnya tidak akan diambil.
Hal ini rupanya cukup memberikan dorongan bagi warga. Pasalnya mereka tak punya pilihan lain karena lahan untuk membuang sampah di belakang rumah (teba) sudah tak ada.
Selain itu, jika kedapatan membuang sampah sembarangan atau menumpuk di pinggir jalan maka sanksi adat dan administrasi menanti.
Kondisi itu menimbulkan rasa malu dan khawatir bagi warga yang melanggar. “Masyarakat Hindu di Bali kan mengenal yang namanya Tri Hita Karana, hubungan baik dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Selain kondisi yang memaksa tadi, warga kami juga mulai sadar akan pentingya kesehatan dan kebersihan lingkungan, sehingga mereka aware dengan sampahnya masing-masing,” ujarnya.
Dari 130 KK pilot project, 85% warga mampu memilah sampah dengan benar, yang mana sebelumnya hanya 65%. Itupun edukasi dan dorongan dilakukan terus menerus. Selain itu, tiga orang terbaik pemilah sampah mendapatkan reward tirta yatra ke beberapa pura agar masyarakat semakin bersemangat untuk memilah.
Di TPS3R, sampah organik diolah menjadi kompos dan briket arang, sementara sampah non organik dibersihkan dan dikirim ke pihak ketiga, sedangkan residu dikirim ke TPA, bekerjasama dengan DLHK. Hasil dari penjualan sampah non organik digunakan membayar pegawai, biaya pengangkutan dan biaya-biaya lain.
TPS3R KNR juga dilengkapi PLTS Atap, bantuan dari Pertamina. PLTS Atap atau solar panel tersebut diharapkan dapat membantu meringankan biaya energi listrik yang dikeluarkan TPS3R KNR. Selain lebih hemat energi, dengan solar panel juga lebih ramah lingkungan.
Selain itu, Pertamina juga menyediakan tong sampah dengan dilengkapi barcode, tujuannya untuk menilai pemilahan sampah. “Kalau saat di-scan muncul gambar angsa, itu berarti pemilah sampah telah memilah sampahnya dengan baik. Angsa melambangkan hewan yang bijaksana, tanpa dihargai pun akan mau memilah. Jika muncul gambar ayam, artinya pemilahan sampah kurang baik. Ayam melambangkan hewan yang membutuhkan pengakuan ketika melakukan sesuatu hal. Jika muncul gambar babi, artinya pemilah sampah burung karena babi melambangkan Binatang dengan sifat malas. Ini cara menyadarkan masyarakakt apakah telah memilah dengan baik atau kurang baik,” jelasnya.
Operation Head Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Ngurah Rai, Pertamina Dicky Abdul Hakim menambahkan, TPS3R KNR merupakan TPS pertama yang menerapkan aplikasi berbasis barcode dalam penilaian pemilahan sampah organik dan non organik. Inovasi ini mendapat apresiasi dari Dewan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada kunjungan program pekan lalu.
Mandiri Energi
Dalam pengelolaan sampah, TPS3R KNR juga dilengkapi dengan PLTS Atap (solar panel). Selain mengelola sampah agar lingkungan bersih, TPS3R KNR diharapkan juga dapat berkontribusi transisi energi ke energi ramah lingkungan.
Operation Head DPPU Ngurah Rai Pertamina Dicky Abdul Hakim mengatakan, solar panel yang diberikan turut mendukung kebutuhan listrik untuk operasional Tempat Pembuangan Sampah Reduce-Reuse-Recycle Kedonganan Ngardi Resik (TPS3R KNR). “Kami berharap, dengan adanya energi terbarukan ini, masyarakat juga dapat merasakan manfaat langsung, sehingga transisi energi terbarukan dapat dengan cepat kita capai,” ucap Dicky.
Dengan kapasitas 6,54 Watt Peak (Wp) dan 10 Watt Hour (Wh) per tahunnya, PLTS tersebut tidak hanya mengurangi emisi hingga 8.502 kg CO2, tetapi juga menghemat biaya listrik hingga Rp15 juta per tahun. “Ini adalah salah satu langkah dalam akselerasi transisi Energi Terbarukan yang merata dengan mengoptimalkan sumber daya energi lokal,” ujarnya.
Sejak 2019, program Desa Energi Berdikari (DEB) telah menghasilkan manfaat 170.880 Wp energi Pembangkit Listrik Tenaga Surya, 605.000 m3 per tahun energi biogas dan gas metana, 8.000 watt energi microhydro, 6.500 liter energi biodiesel per tahun, serta 16.500 Wp energi hibrida Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Angin, serta berdampak pengurangan emisi karbon sebesar 565.928 ton Co2 per tahun.
Terlebih, Desa Energi Berdikari turut berperan dalam pemenuhan kebutuhan energi masyarakat serta memberikan dampak perekonomian bagi 3.021 Kepala Keluarga dengan total multiplier effect sebesar manfaat Rp1,8 miliar per tahun.
Harapannya melalui program Desa Energi Berdikari Pertamina, masyarakat dapat mengembangkan potensi ekonominya dengan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Selain itu, diharapkan dapat mengembangkan produk UMKM yang dihasilkan.
Area Manager Communication, Relation & CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus, Ahad Rahedi menjelaskan program DEB Pertamina ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) poin 7 yaitu Energi Bersih dan Terjangkau, poin 8 yaitu Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, serta poin 13, Penanganan Perubahan Iklim. “Selain itu, melalui program ini, Pertamina juga turut mendukung target Pemerintah dalam mencapai Net Zero Emission di tahun 2060,” tutup Ahad. (Citta Maya/balipost)