DENPASAR, BALIPOST.com – Pariwisata Bali telah kembali berdetak pascapandemi Covid-19. Sesuai visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, pariwisata Bali diharapkan berkualitas. Namun, sejumlah masalah menghadang, salah satunya kemacetan.
Pariwisata berkualitas dan masalah yang menjadi kendala beserta solusinya mengemuka dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru di Warung Bali Coffee, Jalan Veteran 63 Denpasar, Rabu (27/9).
Pelaku pariwisata, Dr. Panudiana Kuhn mengatakan, quality tourism menurutnya diwujudkan dari turis yang menghormati budaya dan adat budaya Bali, dilihat dari spending power-nya. “Dari sisi kita juga harus banyak berbenah, baik dari sisi masalah kemacetan, sampah, dan itu memang harus sudah diurai karena masalah kemacetan sudah lama,” ujarnya.
Selain itu pelayanan di airport, bea cukai, imigrasi juga harus berbenah untuk mencapai pariwisata berkualitas. Pariwisata berkualitas harus segera diwujudkan karena Bali memiliki banyak pesaing dari negara–negara lain yang juga menginginkan kunjungan turis. Seperti Singapura kedatangan 18 juta turis padahal luas wilayahnya lebih kecil dari Bali karena turis datang untuk berobat, berbelanja.
Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali, Nyoman Nuarta mengatakan, pasar Jepang dan China belum mulai kunjungan ke Bali. Meski dua pasar tersebut belum pulih, namun secara umum kunjungan ke Bali telah pulih.
Sementara dari sisi pelayanan sudah semakin meningkat. Pariwisata memang menghasilkan devisa namun di sisi lain bisa menimbulkan kerusakan–kerusakan. Seperti kemacetan yang merupakan masalah klise.
Pemerintah telah berupaya mengatasi dengan infrastruktur dan kebijakan, namun nyatanya masih terjadi kemacetan. Kemacetan yang terjadi juga dampak dari banyakanya wisatawan yang datang.
Mengingat pariwisata Bali tumbuh secara natural bukan dari grand desain yang jelas, maka persoalan seperti kemacetan juga harus dicarikan jalan keluar yang sesuai. “Canggu, Kuta, Ubud juga tumbuh natural, infrastruktur yang dibangun di awal juga belum jelas arahnya. Inilah yang menjadi salah satu penyebab masalah kemacetan belum selesai. Berbeda halnya dengan Nusa Dua yang sejak awal memang didesain sebagai Kawasan resort dan hotel pariwisata,” ungkapnya.
Belajar dari China, untuk mengantisipasi kemacetan dapat dilakukan pemesanan atau booking H-2 hari sebelum ke destinasi. Misalnya, jika ingin menuju Tanah Lot maka harus melakukan booking online terlebih dahulu. Selain itu pihak pengelola juga harus mengamati kapasitas turis yang bisa datang agar tidak menumpuk dan menimbulkan kemacetan.
Dengan kondisi kemacetan yang terjadi di Bali, pramuwisata pun tak kehabisan ide. Agar tamu tidak komplain, maka pada paket wisata yang dibeli tamu disiapkan spare waktu 2 jam dari lokasi satu ke lokasi lain.
Perkembangan teknologi juga sangat membantunya untuk mendeteksi titik– titik macet di Bali agar disiapkan rencana lainnya.
Masalah komplain menurutnya dapat diatasi sepanjang pramuwisata dapat menjelaskan dengan baik. Pertanyaan–pertanyaan dari turis pasti ada, namun pertanyaan bernada komplain itu bukan berarti komplain yang berimplikasi negatif terhadap pariwisata Bali. Wisatawan pun sudah semakin tahu kondisi Bali hari ini sehingga kondisi–kondisi yang membuat ketidaknyamanan dapat dimaklumi.
Sekretaris Asita Bali, Subrata mengatakan, kualitas pariwisata Bali banyak hal harus dibenahi. Asita Bali sebagai lokomotif pariwisata, menilai memang belum ada solusi yang ampuh dan secara permanen untuk jangka panjang. Oleh karena itu, Asita merasa sedih karena ketika promosi ke luar negeri dengan menawarkan kenyamanan di Bali, pada akhirnya setelah merasakan langsung menimbulkan ketidakpuasan bagi turis.
Oleh karena itu Asita menawarkan solusi jangka pendek, jangka menengah, panjang. Jangka pendek solusi yang ditawarkan adalah mengurai kemacetan dari Kabupaten Badung, Denpasar, Tabanan Gianyar ke kabupaten lain. Selain mengatasi macet juga dapat memeratakan pariwisata Bali.
Seperti Bali utara, timur dan barat masih sangat sepi, sementara Bali Selatan sedang padat. “Yang ditawarkan adalah desa wisata diperbanyak, karena desa wisata akan menghidupi perekonomian masyarakat setempat, baik homestay, makanan, budayanya dan seninya sehingga ada pemerataan ekonomi,” ujarnya.
Dengan demikian, tenaga kerja yang awalnya ingin merantau ke kota untuk mendapatkan pekerjaan, akan mengurungkan niatnya dan bekerja di desa. Oleh karena itu fasilitas desa wisata juga harus bagus dan memadai sehingga bisa menjadi daya tarik bagi turis khususnya repeater.
“Sekarang ini banyak desa wisata yang digandrungi tamu Eropa karena mereka dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat setempat,” imbuhnya.
Jangka menengah yang ditawarkan adalah pemerintah telah mengeluarkan transportasi umum namun sepi penumpang. Maka untuk dapat mengoptimalkan peran transportasi umum ini, maka bus-bus tersebut dapat menggunakan jalur khusus yang tidak dilalui jalur kendaraan pribadi.
“Bagaimana pemerintah membuat jalur khusus bagi kendaraan–kendaraan umum tersebut sehingga menjadi trigger bahwa masyarakat lokal dan wisatawan nyaman naik bus, bus nyaman aman bersih, pemerintah pun harus membuat regulasi yang berpihak pada penggunaan transportasi umum yang menggunakan jalur khusus,” bebernya.
Sesuai dengan visi misi Gubernur Bali Nangun Sat Kerthi Loka Bali dengan menyediakan mass transport seperti kereta api menurutnya rencana yang bagus. Namun harus melihat juga operasional kereta api LRT Jakarta-Bandung. Namun, harus dicari rute yang menghambat atau kerap terjadi kemacetan. (kmb/balipost)