Wayan Ramantha. (BP/dok)

Oleh I Wayan Ramantha

Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), merupakan suatu kondisi ketidakmampuan penduduk suatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan maupun nonmakanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Garis kemiskinan
merupakan besaran pengeluaran dalam pengukuran makanan dan non makanan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan BPS mengacu pada kebutuhan minimum yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum, penduduk dikatakan miskin jika berada di bawah garis kemiskinan yang telah ditentukan oleh BPS.

Masih menurut BPS (2021), Kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial. Seseorang dikatagorikan miskin ekstrem jika biaya kebutuhan hidup sehari-harinya berada di bawah garis kemiskinan ekstrem, yaitu setara dengan USD 1,9 Purchasing Power Parity.

Baca juga:  Pj. Gubernur Ajak BPD Bali “Ngrombo” Kemiskinan Ekstrem

Seseorang dikatakan miskin ekstrem jika pengeluaran per orang perharinya di bawah Rp10.739 atau setara Rp 322.170 per bulan. Menurut Pj Gubernur Bali saat pelantikan Pj Bupati Gianyar (20/9/2023), kemiskinan
ekstrem di Kabupaten Gianyar mencapai 1,38 persen, lebih tinggi dari kemiskinan ekstrem di Bali yang hanya 0,54 persen.

Menurut beliau, tahun 2024 kemiskinan ekstrem di Bali ditarget menjadi 0 persen. Target ini diyakini oleh banyak kalangan tidak mungkin bisa dicapai.

Angka kemiskinan ekstrem, termasuk di Kabupaten Gianyar mesti dilihat dari berbagai dimensi, seperti penduduk asli dan penduduk pendatang (termasuk disabilitas dan gelandangan di pinggir jalan yang mencoba mengadu nasib ke Gianyar). Juga penduduk usia produktif dan penduduk usia lanjut yang hidup sendiri.

Sebagai Kabupaten yang Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) tahun 2022 sebesar 78,39 persen, tergolong tiga besar di Bali setelah Denpasar dan Badung. Karena kesejahteraan masyarakatnya, layanan kesehatan dan pendidikannya sangat baik, Gianyar sangat sulit membatasi kedatangan penduduk pendatang yang tidak memiliki penghasilan. Penduduk yang jenis inilah sebetulnya menjadi penyumbang dominan dari 1,38 persen kemiskinan ekstrem di
Kabupaten Gianyar.

Baca juga:  Membebaskan Belenggu di Sekolah Merdeka Belajar

Daerah seni ini, sangat sulit untuk menghindar dari serbuan mereka, termasuk disabilitas dan gelandangan di pinggir jalan yang mencoba mengadu nasib ke daerah
yang terkenal ramah dengan krama tamyu ini. Mereka semua menjadi “kontributor utama” kemiskinan ekstrem di Kabupaten Gianyar.

Kondisi serupa dialami oleh Kota Denpasar pada tahun 2021. BPS merilis penduduk miskin di Ibu Kota Provinsi Bali ini sebanyak 30 ribu lebih. Jumlahnya tersebar hampir merata di seluruh Kecamatan. Di Denpasar Utara sebanyak 665 KK, Denpasar Timur sebanyak 583
KK, Denpasar Selatan sebanyak 598 KK dan Denpasar Barat sebanyak 641 KK.

Baca juga:  Memerdekakan Diri Melalui "Catur Brata Panyepian"

Penyebabnya sama, yaitu kesejahteraan masyarakat, layanan kesehatan yang baik dan pendidikan yang
merata. Dengan IPM 84,7 atau tertinggi di Bali, sangat sulit bagi Kota Denpasar untuk menghindar dari penduduk pendatang.

Terkait dengan penduduk asli di Kabupaten Gianyar, kalau toh masih ada yang terkatagorikan miskin ekstrem, jumlahnya pasti sangat sedikit, karena mereka merupakan penduduk usia lanjut yang hidup sendiri. Terhadap mereka yang seperti ini, disamping sudah
lama tersentuh program-program pemerintah, juga dengan budaya menyama-braya masyarakat
yang terkenal sangat tinggi di Kabupaten Gianyar, mereka pasti aman. Sudah mendapat bantuan sosial dan bedah rumah, tetapi tidak mampu lagi bekerja untuk berpenghasilan sekurang-kurangnya Rp 322.170 per bulan.

Penulis, Guru Besar dan Mantan Dekan FEB Unud (Th 2008 – 2012).

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *