I Wayan Artika. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Semenjak MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) digulirkan, kampus-kampus kian hiruk-pikuk lalu lintas pertukaran mahasiswa. Sudah menjadi tuntutan dan pilihan kalau seseorang memilih mata kuliah di prodi lain di luar fakultas dan bahkan di luar universitas (baik melalui program pemerintah maupun program mandiri perguruan tinggi).

Memang ini merupakan salah satu tujuan filosofis MBKM. Para mahasiswa mendapatkan kesempatan mengikuti kuliah-kuliah di berbagai prodi yang bahkan jauh di luar disiplin formal bidang ilmu pokoknya. Karena itu, hiruk-pikuk kuliah-kuliah lintas prodi/disiplin dalam berbagai program pertukaran mahasiswa telah menterjadikan perubahan paradigma dalam memilih dan mempelajari suatu bidang ilmu. Mahasiswa tidak lagi terbelenggu secara kaku oleh bidang ilmu yang sudah menjadi mitos sejak era klasik, jauh pada masa lampau.

Dalam MBKM disemai prinsip mendasar bahwa manusia belajar secara merdeka dan demokratis dalam berbagai cabang ilmu yang dikembangkan untuk kehidupan manusia. Karena itu, manusia akan sangat terbuka dengan ilmu pengetahuan. Pada konteksnya, manusia adalah makhluk hidup dan kehidupan itu sendiri di mana ilmu sejatinya tidak pernah berseteru atau dibatasi. Kehidupan mereduksi batas-batas ilmu.

Tapi penjurusan dan pemetaan displin keilmuan  sudah sejak lama membatasi hubungan-hubungan antarilmu yang dikembangkan di universitas. Dengan konsep MBKM yang diimplementasikan misalnya lewat perkuliahan-perkuliahan lintas prodi, lintas fakultas, telah menghancurkan mitos bahwa ilmu itu sangat khusus, spesifik, dan terpisahkan. Ini ternyata tidak benar lagi dan karena itu mulai ditolak. Mahasiswa sedang berada dalam lalulintas keilmuan dan gagasan-gagasan di atas narasi besar interdisiplin.

Baca juga:  Wayang adalah Indonesia

Ternyata hanya dalam waktu dua sampai tiga tahun, bagaimana ilmu itu dipelajari oleh mahasiswa di era MBKM sudah menunjukkan perkembangan baru di kampus-kampus di tanah air. Dosen, doktor, dan para guru besar berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa yang selalu ”baru” atau ”asing”, walaupun di dalam kelas-kelas mereka memang masih ada sejumlah mahasiswa yang memang sejak awal dan secara formal memilih mata kuliah tersebut. Para dosen tidak lagi terganggu kondisi atau keraguan bagaimana mata kuliahnya diikuti oleh seorang masiswa yang jauh hubungannya dengan jurusan di mana dia bekerja mengembangkan ilmu di prodi bersangkutan. Demikian memang pada akhirnya dosen makin adaptif dan telah sangat terbuka ketika suatu bidang ilmu yang diampunya dalam melayani mahasiswa-mahasiswa  lintas disiplin.

Melihat kenyataan tersebut, pada awalnya para dosen dengan paradigma lama; meragukan kemampuan mahasiswa baru dalam mempelajari ilmu di luar bidangnya. Sehingga ia berpikir bahwa mungkin seorang bisa mempelajari ilmu yang dia kembangkan lewat mata kuliah yang diampu tapi rupanya kuatnya desakan kuliah lintas prodi sebagai wujud kemerdekaan dan demokrasi dalam mempelajari ilmu pengetahuan; maka ia beradaptasi dengan sangat baik. Karena itu, dampak MBKM sejatinya bukanlah pada terbuka luas dan lebar kesempatan mahasiswa –untuk memberikan pengalaman belajar yang sangat revolusioner pada konteks Indonesia– tetapi MBKM adalah juga harus dipandang pada konteks bagaimana menyikapi bangunan  pohon ilmu pengetahuan di perguruan tinggi.

Baca juga:  Mengalami Kebhinekaan

Lewat MBKM dunia ilmu pengetahuan Indonesia dan hubungan antara ilmu pengetahuan itu sendiri dengan manusia atau mahasiswa; sedang mengalami dekonstruksi, sekaligus keterlambatan besar dunia kampus mencicipi era postmodern dalam dunia pemikiran dan keilmuan. Kampus-kampus ternyata selama ini yang sering dilecehkan dengan sebutan menara gading pengetahuan ternyata menjalankan praktik-praktik mitologis.

Dekonstruksi tersebut dilakukan oleh mahasiswa yang memang dilandasi oleh suatu kebijakan politik ilmu pengetahuan lewat MBKM dan mencipta perubahan-perubahan paradigma keilmuan dari ilmu yang telah menjadi mitos yang mengisi ruang-ruang kuliah dengan berbagai mimbar akademik menara gading kampus. Hal itu sudah tidak ada lagi dan ilmu pengetahuan dilihat dari bagaimana dipelajari dan oleh siapapun yang mana pada akhirnya ilmu pengetahuan itu seperti kata- kata Albert Enstein (1938) hanyalah bagi penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.

Baca juga:  Realita MBKM

Karena itu, dimensi praktis MBKM adalah kuliah-kuliah lintas prodi, yang bukan semata-mata perkara administrasi dari suatu kebijakan besar pendidikan tetapi ini adalah perkara fundamental keilmuan yang menolak kekuasaan para dosen, guru besar, pengampu mata kuliah di kampus-kampus. Di bawah MBKM mereka berdiri di atas mimbar kampus memberikan kuliah-kuliah kepada mahasiswa lintas prodi.

Dahsyatnya kuliah-kuliah lintas prodi akhir-akhir ini menunjukkan bagaimana konsep ideologi ilmu pengetahuan tersebut yang sengaja dibatasi dan dipenjarakan, ternyata telah rontok. Sebaliknya kuliah-kuliah  era MBKM adalah sebuah petualangan dalam mempelajari ilmu yang mana ilmu itu pada kenyataannya dalam kehidupan tidak pernah mengalami penjurusan seperti bangunan ilmu  pengetahuan yang kaku dan sekaligus akhirnya menyuburkan berkembangnya pikiran-ikiran parsial, yang justru terjadi di kampus kampus.

Penulis, Dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali.

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *